PAKAR: PERLU SATU LEMBAGA JADI LEADER KEAMANAN SIBER DI INDONESIA
JAKARTA — Presiden Joko Widodo menolak pembentukan lembaga baru dalam mengatasi kejahatan siber. Menurut Jokowi, lebih baik mengintegrasikan desk siber di beberapa instansi ketimbang membentuk lembaga baru. Selain itu, pembatalan pembentukan lembaga baru ini dilakukan untuk efesiensi anggaran.
Pakar keamanan siber Pratama Persadha menyayangkan keputusan ini. Menurutnya pembentukan Badan Cyber Nasional (BCN) sudah amat mendesak. Apalagi menurut Pratama, negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia sudah memiliki badan siber sejak 2009. Hal ini sampaikan dalam Seminar Nasional Defence and Security Technology di Universitas Jendral Soedirman Purwokerto, Sabtu (8/10).
“Jika memang pembentukan BCN ini dibatalkan, seharusnya pemerintah memperkuat satu lembaga atau instansi sebagai leader yang khusus menangani permasalahan ruang cyber Indonesia,” ujar Pratama.
Pratama menambahkan, tidak tepat jika hanya memperkuat divisi-divisi siber di berbagai kementerian, lembaga, atau instansi pemerintah. Karena setiap lembaga mempunyai tugas yang berbeda-beda, sehingga tidak ada yang fokus mengintegrasikan pertahanan siber negara.
“Kalau urusan ini diserahkan ke masing-masing lembaga, itu yang diinginkan oleh semua calon musuh kita, supaya kita menjadi terpecah-pecah,” kata Pratama.
Pratama yang juga Chairman Communication and Information System Security Research Centre (CISSReC) menjelaskan, akhirnya semua aspek pengawasan, pertahanan, penyerangan pada ranah siber menjadi tidak fokus sehingga akan sia-sia saja.
“Badan cyber nasional ini diperlukan sebagai penjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini juga terkait banyak untuk kepercayaan asing pada keamanan infrastruktur kita terutama terkait perbankan dan dunia usaha lainnya,” kata Pratama.
Pengguna internet di Indonesia yang jumlahnya mencapai lebih dari 90 juta orang perlu mendapat perlindungan. Lebih dari itu, BCN juga akan melindungi sistem pemerintahan negara yang sekarang ini sudah terintegrasi dan terdigitalisasi.
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat menganggarkan lebih dari Rp 144 triliun untuk membangun pertahanan cyber, dan hirarki ada langsung di bawah Presiden Obama. Begitu juga dengan negara lain.
“Dalam pameran pertahanan terakhir di Filipina jelas terlihat negara-negara lain sudah memikirkan dan memulai untuk membangun pertahanan cyber yang mumpuni. Bahkan sudah banyak yang menawarkan teknologi untuk dipakai di tanah air, padahal banyak juga anak bangsa yang mampu,” kata dia.
(Republika Online)