MEREKA BILANG, “DIKUCILKAN ADALAH BERKAH!”
![]() |
“Semakin individualis seseorang, semakin ia berguna bagi masyarakatnya…” (Adam Smith) |
Implikasi-implikasi Keterkucilan Individu dalam Lingkungan Pergaulan
Siapa dari kita tak pernah dikucilkan? Nyaris tak ada. Hampir semua dari kita pernah mengalami pengalaman tersebut, entah saat kecil, remaja atau bahkan saat ini juga. Tak sedikit pula dari kita yang merasakannya sebagai pengalaman pahit nan getir tersendiri, bahkan meninggalkan trauma berkepanjangan. Beragam respon dan perubahan sikap pun akan kita temui pada mereka pasca mengalami pengalaman tersebut (dikucilkan). Lebih jauh, lihat tabel di bawah ini
No.
|
Respon
|
Perubahan Sikap
|
Tipe
|
Kecenderungan
|
1.
|
Trauma berat
|
* Menganggap masyarakat sebagai Tuhan (segalanya), seakan seluruh dimensi kehidupannya ditentukan oleh masyarakat.
* Dalam bergaul akan bertindak “sangat hati-hati”, bahkan cenderung memiliki ketakutan berlebih untuk berbuat salah agar tak dikucilkan kembali.
* Berusaha sekuat tenaga mengabulkan pinta masyarakat, meskipun terkadang terkesan irasional (mengesampingkan kepentingan saudara atau orang tua, bahkan senyatanya bertentangan dengan kepentingan diri).
* “Phobia sosial”. Cenderung malas atau takut untuk bergabung dalam keramaian (salah satunya dikarenakan ketakutan berlebih berbuat salah ketika bergaul).
|
Budak masyarakat
|
* Pengekor.
* Tak memiliki inisiatif dan kemandirian berpikir.
* Tak memiliki jiwa penakluk, cenderung menyerah pada keadaan.
* Tak dapat diandalkan dan tak mampu menjadi pemimpin.
|
2.
|
Trauma sedang
|
* Masyarakat sebagai entitas yang perlu dipertimbangkan.
* Lebih berhati-hati dalam berucap dan bertindak dalam lingkungan pergaulan sosial (tak takut, tapi tak juga tak meremehkan).
* Berusaha mengabulkan pinta masyarakat, namun masih dalam tataran yang wajar dan dapat dimaklumi (sejauh itu rasional).
* Senang dalam keramaian, merasakan hal tersebut sebagai penerimaan kembali dirinya oleh masyarakat (serasa telah mengalami rehabilitasi sosial dan kembali “normal”).
|
Pendamping masyarakat
|
* Pemimpin masyarakat.
* Objektif, dapat menimbang dan menilai baik-buruk pemikiran maupun tindakan masyarakat.
* Mampu menyelaraskan diri dengan masyarakat.
* Memiliki jiwa penasehat (pemberi arah).
|
3.
|
Trauma ringan
|
* Masyarakat sebagai “omong-kosong”.
* Bebas dalam berucap dan bertindak dalam masyarakat. Seolah pengalaman keterkucilan telah memberikan “kekebalan” pada dirinya. Pada suatu momen dalam keterkucilannya, menyadari bahwa ia dapat berdiri sendiri tanpa masyarakat.
* Sama sekali tak mau mengabulkan pinta masyarakat, sebaliknya: masyarakatlah yang syarat mengabulkan pintanya secara total.
* Dominan dan agitatif dalam lingkungan pergaulan.
|
Penakluk masyarakat
|
* Individualis, antisosial dan egois (pemberontak masyarakat).
* Memiliki kemandirian berpikir yang luar biasa.
* Agitatif dan propagandis.
* Dapat diandalkan, siap menjadi yang terbaik (kaum profesional).
|
Apa yang bisa dipetik pelajaran?
Mentalitas Nietzsche maupun Sartre memungkinkan individu mengambil jarak dari masyarakat, dan mengapa itu baik? Karena masyarakat belum tentu benar. Apabila masyarakat “selalu” benar, lalu apa gunanya para nabi diturunkan Tuhan ke muka bumi?.
Harus diakui memang, pribadi-pribadi layaknya Nietzsche maupun Sartre memiliki kecenderungan dibenci masyarakatnya ketika mereka masih hidup, namun barulah kemudian masyarakat memahami arti penting (jasa) pemikiran mereka di kemudian hari. Mereka pun lambat-laun mengakui bahwa orang-orang seperti Nietzsche dan Sartre bukanlah orang-orang “ngawur” yang berbicara tanpa alasan mendasar. Pada akhirnya, masyarakat bakal mengakui keduanya sebagai jenius yang telah berpikir jauh ke depan. Dan umumnya, mereka yang memiliki pola pikir “nonkompromis” (jauh berseberangan) dengan masyarakat justru menghasilkan sumbangsih yang jauh lebih besar bagi peradaban umat manusia. Bukankah kasus-kasus demikian telah kita temui pula pada Galileo, Giordano Bruno, Einstein, Soekarno dan seabrek tokoh-tokoh besar dunia lainnya?
Referensi:
Leahy, Louis. 2007. Siapakah Manusia?. Yogyakarta: Kanisius.
Sartre, Jean Paul. 1956. Being and Nothingness. New York: Philosophical Library.
Deleuze, Gilles. 2002. Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Ikon.