FAJAR JAMAN: MENYEMAI BIBIT DATA SCIENTIST DI INDONESIA
Semuanya berawal secara sederhana. Saat masih bekerja di Teradata, Fajar Jaman diminta mengeksplorasi peluang open data di Indonesia. Manfaat open data sudah terbukti di berbagai negara maju, namun masih jarang dimanfaatkan di Indonesia.
“Di Amerika Serikat, open data dimanfaatkan untuk aplikasi atau membuat sistem,” Fajar mencontohkan. Peluang makin besar karena kegunaan open data tidak cuma untuk bisnis, namun juga peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebetulan, tugas tersebut sejalan dengan minat Fajar. “Selama ini saya punya kegelisahan untuk melakukan aktivitas sosial,” tambah Fajar. Fajar pun bermimpi untuk mengembangkan open data di Indonesia sehingga bermanfaat bagi masyarakat banyak. Namun untuk bisa mencapai hal itu, dibutuhkan orang yang mampu mengolah dan menyajikan data itu menjadi sebuah narasi yang “berbunyi”. Sayangnya, orang seperti itu—yang biasa disebut dengan data scientist—masih sangat terbatas di negeri ini.
Pada titik itulah, tercetus ide untuk membuat sebuah komunitas yang membantu munculnya data science di Indonesia. “Karena saya sadar, saya tidak mungkin melakukannya sendiri,” ungkap pria lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran ini.
Ia pun mulai menghubungi rekan seprofesi maupun kenalannya yang karib dengan pengolahan data. “Awalnya saya cuma membuat WhatsApp Group,” Fajar bercerita. Ternyata, ide Fajar mendapat sambutan hangat. Anggota grup tersebut berkembang sampai akhirnya beranggotakan 139 orang. Latar belakangnya pun berasal dari delapan puluh instansi berbeda, mulai dari analis profesional, dosen, mahasiswa, sampai aparat pemerintahan.
Setelah melakukan beberapa kali pertemuan, komunitas ini pun sepakat membentuk Data Science Indonesia (DSI). Rencananya DSI ini memiliki badan hukum yayasan yang memayungi niat anggotanya memberikan nilai sosial kepada masyarakat melalui data science. Niat baik itu didengar Indoplan Institute yang kemudian memberikan pendanaan kepada DSI.
Melihat jumlah anggota yang terus membesar dan adanya dukungan dana, Fajar akhirnya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya di Teradata dan fokus mengembangkan DSI.
Tiga Pilar
Menurut Fajar, DSI memosisikan diri sebagai komunitas yang membantu anggotanya mengembangkan kemampuan sekaligus berbagi ilmu seputar data science. Tujuan itu dijabarkan dalam tiga aktivitas: edukasi, sosialisasi, dan advokasi.
Dari sisi edukasi, April ini DSI akan membuat bootcamp berdurasi enam bulan untuk tiga puluh peserta. Program ini sebenarnya gratis, namun DSI mengenakan commitment fee untuk menjamin keseriusan peserta. Kejutan yang menyenangkan pun terjadi ketika jumlah pendaftar ternyata membludak. “Sebenarnya kuota awalnya dua puluh orang. Namun ternyata yang mendaftar sampai tiga ratus orang,” ungkap Fajar.
Karena jumlah peserta yang membludak, tim DSI pun melakukan proses seleksi. Pertimbangan utama justru bukan dari hard skill, melainkan komitmen dan passion. “Dari awal kami sudah tekankan bahwa [kelas] ini tidak mudah,” kata Fajar. Contohnya adalah peserta diwajibkan datang tiap Rabu setelah jam kerja dan Sabtu selama seharian. Jika sudah punya komitmen, barulah proses seleksi melihat latar belakang calon peserta yang sudah memiliki basic quantitive skill. “Contohnya orang ekonomi, matematika, atau computer science,” tambah Fajar.
Namun Fajar menegaskan, seorang data scientist tidak harus memiliki latar belakang pendidikan khusus. “Bahkan salah satu anggota kami latar belakang pendidikannya sastra Jerman,” imbuh Fajar. Yang penting adalah mereka memiliki pengalaman dalam hal pengolahan data dan analisis.
Program ini sendiri terdiri dari dua tahap. Tahap pertama selama tiga bulan adalah kelas tatap muka, sedangkan tahap kedua adalah praktik di perusahaan atau organisasi yang menjadi mitra DSI.
Pada kelas tatap muka, peserta diajarkan berbagai hal seputar pengolahan data, mulai dari dasar-dasar data science, storytelling, sampai membuat infografik. Namun menurut Fajar, pelajaran paling pertama yang akan diajarkan adalah design thinking. “Karena data science itu cuma satu hal. Hal yang tak kalah penting adalah bagaimana seorang data scientist bisa mengetahui apa masalah yang ingin diatasi,” ujarnya.
Pelajaran design thinking ini sendiri akan langsung diberikan oleh Danny Kosasih, salah satu pakar design thinking Indonesia dan pendiri Makedonia MakerSpace & Innovation Hub.
Setelah menyerap ilmu mengenai data science, para peserta itu kemudian akan mempraktikkan ilmunya di perusahaan dan organisasi mitra DSI. “Contohnya adalah Telkomsel, Jakarta Smart City, dan beberapa perusahaan market research,” tambah Fajar. “Partner kami akan memberikan business case kepada peserta DSI bootcamp yang nantinya akan memberikan rekomendasi atau solusi dengan pendekatan data science,” tambah Fajar.
Yang tak kalah penting, setelah lulus nanti, angkatan pertama ini akan menjadi duta DSI yang akan menyebarkan pesan pentingnya peran data scientist di era modern seperti sekarang.
Kerja Bersama
Selain edukasi, DSI juga aktif dalam hal sosialisasi dan advokasi. Untuk sosialisasi, DSI berkomitmen menghadirkan beragam konten berbasis data. Konten itu nantinya akan ditampilkan di blog DSI maupun media. “DSI sudah memiliki kerja sama dengan salah satu media online untuk menyajikan artikel berbasis data journalism,” tambah Fajar.
Sementara di sisi advokasi, DSI akan membantu perusahaan dan organisasi dalam memanfaatkan data. Salah satu yang telah dilakukan adalah kerjasama dengan salah satu unit di Pemerintahan Provinsi Jakarta, yaitu Jakarta Smart City. Saat ini, Pemprov DKI bisa dibilang organisasi pemerintahan yang paling banyak mengeluarkan open data. Namun agar data tersebut berguna bagi masyarakat, mereka bekerjasama dengan DSI untuk mengolah data tersebut.
Nantinya, data itu juga akan dikombinasikan dengan data dari perusahaan swasta sehingga dapat memotret kondisi kota dengan lebih akurat. “Contohnya kita bisa mengolah data dari operator telekomunikasi untuk melihat pergerakan warga Jakarta sehari-hari,” Fajar mencontohkan. Data itu akan membantu Pemprov Jakarta dalam membuat kebijakan transportasi yang lebih baik.
Proyek lain yang sedang dikembangkan adalah menggabungkan data dari lapangan dengan data dari remote sensing technology (seperti drone) untuk analisis dan mapping lahan gambut lebih efektif dan efisien. Di masa depan, DSI juga membuka kesempatan bekerja sama dengan perusahaan swasta selama memberi efek sosial. “Contohnya jika ada perusahaan transportasi yang ingin dibantu pengolahan datanya agar bisa memberikan tarif yang kompetitif,” tukas Fajar.
Fajar mengakui, semua rencana tersebut membutuhkan kerja keras. Namun pria berusia 27 tahun ini merasa optimis semua rencana itu akan terwujud jika melihat antusiasme anggota komunitas dalam mendorong momentum ini.
Soal kurikulum pengajaran, misalnya, semua disusun oleh anggota komunitas. Para data scientist senior Indonesia, seperti Komang Aryasa (Deputy Research and Big Data Telkom Indonesia), Yanti Nisro (Presiden dari Perusahaan Riset Pasar Indonesia) dan Fajar Muharandy (Chief of Solution Teradata) telah bersedia menjadi pembina komunitas ini.
Fajar juga menceritakan kisah William Tjhi, salah satu anggota DSI yang merupakan data scientist asal Indonesia dan telah lama bekerja di Singapura. Ia begitu semangat terlibat dalam DSI ini, termasuk menyiapkan bahan materi pengajaran. “Bahkan pada salah satu meetup, dia bersedia datang ke Jakarta pagi-pagi, berbagi ilmu, terus sorenya balik lagi ke Singapura,” tambah Fajar.
Fajar berharap, antusiasme komunitas DSI ini bisa menjadi katalisator lahirnya generasi data scientist bermutu di Indonesia. Apalagi, semua industri pada dasarnya membutuhkan keahlian data scientist. “Saat ini perusahaan telekomunikasi dan perbankan sudah menggunakan data scientist,” ujarnya. Perusahaan digital startup, yang relatif memiliki data lebih rapi, juga sangat membutuhkan data scientist.
Peluang makin besar karena dunia saat ini sebenarnya masih kekurangan suplai data scientist. Jika momentum yang digagas DSI bisa terus membesar, Indonesia bisa menjadi penghasil data scientist untuk kawasan Asia Tenggara atau bahkan dunia.