BOS BER-IQ RENDAH JUSTRU DIPROMOSIKAN ?
JAKARTA – Judul di atas, sebenarnya berasal dari salah satu email yang saya terima. Pertanyaannya sederhana, “Mengapa Bos saya yang jelas-jelas IQ nya sangat rendah, justru dia yang dipromosikan?”
E-mail itupun berbicara panjang lebar soal atasannya yang tidak manusiawi dan suka mengancam. Namun, herannya, justru atasannya itulah yang kemudian mendapatkan promosi. Jadi, pertanyaannya, mengapa? Secara panjang lebar, penulis e-mail itu justru menanyakan, “Katanya 80% faktor penentu kesuksesan adalah IQ, kenyataannya meskipun IQ-nya rendah mengapa bos itu yang dipromosikan? Apa yang salah disini?”
Bahkan konon diceritakan Steve Jobs dan juga tokoh penemu Thomas Alva Edison, bukanlah pimpinan dengan IQ yang tinggi. Dalam beberapa analisa pakar pikologi, sikapnya yang cenderung arogan membuat Steve Jobs sempat ditendang keluar dari perusahaan yang ia bangun sendiri.
Begitu juga dengan Thomas Alva Edison yang harus menyesali cara ia memperlakukan Nikolai Tesla, seorang ilmuwan dan juga mantan bawahannya, di saat-saat terakhir dalam hidupnya. Mereka terkenal, sukses, tetapi banyak orang yang sengsara bekerja di bawah mereka. Orang-orang pun akhirnya menentangnya, tapi sekali lagi, mengapa mereka bisa begitu sukses?
Sebagai salah satu pemerhati dan trainer di bidang kecerdasan emosional, saya merasa perlu memberi perhatian penting bagi e-mail ini. Dan sebenarnya, jawaban atas pertanyaan itu sendiri sebenarnya bisa dilihat dari reaksi si penulis e-mail itu sendiri, tatkala ia menanyakan mengapa justru orang itu yang dipromosikan. Artinya, sebagai salah satu karyawan, dia sendiri sudah menjadi penentang terhadap pimpinan yang demikian.
Namun, sebelum berbicara lebih jauh. Marilah kita coba telusuri, mengapa pihak pemilik bahkan manajemen mau menaikkan pimpinan yang sudah jelas kecerdasan emosionalnya kurang. Seringkali, inilah alasannya!
Pertama-tama, mereka adalah pekerja keras siang dan malam yang tidak mempedulikan hubungan dan keluarga. Akibatnya, secara produksi, mereka biasanya jauh lebih tinggi dibandingkan rekan-rekannya yang lain.
Berikutnya, mereka hanya peduli pada soal hasil dan hasil saja, tanpa mempedulikan perasaan orang. Bagi mereka, yang terpenting adalah hasil. Jadi, mereka tidak terlalu mempedulikan soal perasaan orang. Sehingga ia bisa memaki, membentak ataupun memarahi orang tatkala hasilnya tidak ada sama sekali. Bagi mereka, hasil itu lebih penting daripada perasaan orang.
Kemudian, bagi mereka kelembutan, kebaikan dan perasaan empati adalah sebuah sisi lemah yang tidak boleh ditunjukkan. Mereka khawatir, kalau hal ini ditunjukkan, maka karyawan akan ngelunjak dan memanfaatkan situasi untuk kepentingan mereka. Jadi hukum satu-satunya adalah, lebih banyak gunakan pikiran dan lupakan perasaan.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Emotional Intelligence Concorcium menunjukkan sebuah kenyataan yang menarik. Kalau dibuat grafik, kemampuan kecerdasan emosional pimpinan akan naik sejalan dengan posisinya. Kalau begitu, para CEO dan direktur haruslah mereka yang IQ-nya paling tinggi. Bener nggak? Ternyata, Anda salah! Ketika dilihat kembali hasil datanya, justru orang-orang yang menempati posisi yang disebut C-level, level direktur, dan setingkat, justru nilai IQ mereka relatif lebih rendah.
Penelitian lain oleh Dr. Fabio Sala pada 2001 menunjukkan bahwa kebanyakan pimpinan di puncak akan menilai IQ mereka terlalu tinggi dan seringkali tidak sesuai dengan penilaian karyawan dibawahnya.
Lalu, Dr.Fabio Sala yang melakukan penelitian ini lantas mengemukakan alasannya. Pertama adalah karena orang-orang pada posisi yang paling atas itu, jarang meminta masukan. Dan yang kedua, orang-orang dibawahnyapun jarang mau memberikan masukan yang jujur pada mereka-mereka di posisi puncak tersebut. Akibatnya, mereka seringkali tidak tahu bahwa mereka perlu mengembangkan EQ mereka.
Ongkos Perusahaan
Memang, kalau diperhatikan sepintas maka pimpinan yang IQ-nya tinggi tampak mampu mencapai hasil yang luar biasa.Namun, untuk jangka panjang ternyata kondisi itu membawa banyak sekali ongkosnya. Apa sajakah ongkos itu?
Pertama, adalah secara keuangan! Memang sih tampaknya pada awal-awal, pimpinan yang EQ-nya rendah hanya peduli hasil. Akibatnya profit dan hasil pun meningkat sangat tajam. Namun, ongkos-ongkos sosial lainnya juga meningkat.
Sebuah penelitian oleh Harrison Psychological Associate terhadap 9.000 karyawan pemerintah mengatakan 42% cewek diperlakukan buruk, 15% cowok, dan sebagai akibatnya kerugian di tempat kerja adalah timbul nya perasan marah, apatis, tidak maksimal, dan keinginan membalas dendam untuk perusahaan bisa mencapai US$180 juta. Belum lagi terhitung ongkos sosial yang harus dibayar misalkan produktivitas rendah, ongkos orang keluar masuk,dan ongkos kesalahan yang dibuat secara sengaja.
Kedua, secara bisnis pun untuk jangka panjang bisa jadi taruhan. Dunia mengenal John Akers dari IBM, yang pernah memimpin selama 33 tahun. Namun, ia masuk dalam daftar pimpinan bisnis yang buruk. Dia pandai, cerdas tetapi terlalu keras kepala.
Diaterus menerus fokus pada yang namanya mainframe, padahal bisnis sudah berubah kearah personal computer. Masalahnya, untuk protespun orang tidak berani. Di sisi lain, kalaupun ada masukan, ia tidak mau mendengarkan.
Ketiga, dari sisi ketenangan bahkan nyawa mereka! Anda pasti tahu, ada beberapa pimpinan yang ber-IQ rendah, sampai harus membawa bodyguard kemana-mana demi keselamatan mereka.
Pernah diceritakan Henry Frick partner bisnisnya raja baja Andrew Carnegie, yang hidup di jaman depresi dunia, sampai akhirnya ditembak tiga kali, dan ditusuk dua kali. Dia dikenal sebagai pimpinan bisnis di Amerika Serikatyang paling tidak disukai, lantaran sangat keras dan arogan orangnya.
Secara hukumpun seringkali jadi masalah. Misalkan saja kasus Enron. Siapa bilang pimpinan-pimpinan Enron yang akhirnya dibangkrutkan dan dipenjarakan bukanlah orang yang IQ-nya tinggi? Mereka para lulusan terbaik, orang-orang pintar sampai-sampai dengan liciknya mampu memalsukan dokumen mereka selama bertahun-tahun dan apapun, demi mendapatkan keuntungan. Namun, begitulah kalau punya pimpinan yang hanya pintar, tapi tidak punya hati.
Akhirnya, secara kehidupanpun jadi taruhan. Contohnya Inggris pernah dikejutkan dengan meninggalnya Paul Castle, raja properti Inggris, temannya Pangeran Charles yang mati mengenaskan.
Pada 2010, Paul Castle meninggal dengan cara bunuh diri terjun ke depan kereta yang sedang melaju kencang. Paul dikenal begitu suksesnya, tetapi memang kehidupan pribadinya tidaklah terlalu mulus. Ia sempat menikah 4 kali.
Jadi apa kesimpulannya? Mungkin saja, secara sesaat para pimpinan dengan EQ yang rendah bisa mencapai hasil yang luar biasa. Mereka bisa memanipulasi, membohongi serta menculasi bisnis mereka demi laba yang luar biasa tingginya. Tapi bagaimana kelanjutan bisnisnya setelah mereka tidak ada lagi?
Karena itulah, kalau mau bisnis jangka pendek, carilah orang yang IQ-nya pintar saja, lupakan soal EQ. Namun, kalau mau jangka panjang kita butuh pimpinan yang memiliki keduanya.
Dan kalau ingin butuh sekadar sukses saja, IQ saja sudahlah cukup.Namun, kalau menginginkan kesuksesan dan kebahagiaan dalam menjalankan bisnis, kita butuh untuk memadukan antara IQ dengan unsure EQ, termasuk juga harus ada SQ (kecerdasan spiritual)-nya! Jadi, IQ sendiri tidaklah cukup!
*) Managing Director HR Excellency, Best EQ Trainer Indonesia, Host Program Radio SmartEmotion di SmartFM,