BAGAIMANA SOCIAL MEDIA BISA MENINGKATKAN EMPLOYEE ENGAGEMENT?
MARAKNYA penggunaan social media memang sudah tidak bisa dibendung lagi. Termasuk dalam dunia kerja, penggunaan social media oleh karyawan menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana penggunaan social media bisa meningkatkan employee engagement.
Animo karyawan dalam ber-social media yang semakin tinggi, berdasarkan Survey IABC Research Foundation, Buck Consultant, 2009, terlihat dari paparan P.M. Susbandono, Vice President Human Resources & Services PT Star Energy Indonesia, saat ajang PortalHR Summit 2012, yang berlangsung 17-18 April di Jakarta, pekan lalu. Susbandono memperlihatkan data, jumlah karyawan yang menggunakan Twitter sebanyak 21% dari semua karyawan yang ada, disusul Facebook, sebesar 18% dan Linkedin 5%.
“Angka ini menggambarkan social media sudah mempunyai tempat tersendiri bagi karyawan untuk berkomunikasi dengan teman ataupun atasannya. Tidak jarang juga, mereka mengakses langsung dari kantor pada saat bekerja,” kata Susbandono.
Jalinan percakapan melalui social media ini bisa menciptakan hubungan atau relationship antar penggunanya. “Karyawan kini asyik bermain facebook, twitter atau membaca blog bosnya setiap hari. Namun tantangannya adalah apakah dari jumlah teman ataupun followers dari social media yang dipunyai atasan, dapat mengukur engagement karyawan kepada perusahaannya?,” tanya Susbandono.
Susbandono juga mengingatkan bahwa perubahan besar yang terjadi dalam dunia teknologi dan internet, telah berimbas kepada perilaku tidak saja antara karyawan dan atasan tapi lebih dalam lagi berpengaruh kepada hubungan sesama anggota keluarga. Untuk urusan keluarga ini, Susbandono punya cerita menarik mengenai perilaku anak muda jaman sekarang.
Sebagai analogi, Susbandono menceritakan pengalaman pribadinya ketika ia masih kuliah dan bermaksud meminta uang kepada orang tuanya di kampung. “Biasanya saya akan menulis surat dengan memilih kata-kata yang halus. Proses dari surat sampai memperoleh uang ini bisa memakan waktu 3 minggu. Sekarang sudah berubah drastis. Anak saya untuk urusan yang sama bisa melakukannya instan hanya melalui BBM (Blackberry Messenger), tidak sampai 3 menit,” kenangnya.
Cerita ini, lanjut Susbandono, mungkin juga dialami para orang tua lain yang tercengang melihat perbedaan adab berkomunikasi dari generasi sekarang. Susbandono menarik kesimpulan, perkembangan sistem teknologi informasi tersebut juga mengubah arti engagement bagi masing-masing individu.
Susbandono pun melanjutkan, tolak ukur seberapa besar engagement karyawan bukan hanya terletak pada komunikasinya saja, tapi juga hubungan emosional baik positif maupun negatif antara karyawan dengan pekerjaannya. “ Yang penting, efektif membangun komunikasi, dimana tidak hanya pesannya saja yang sampai, tapi ruhnya juga,” tambah Susbandono.
Menyitir hasil riset F. Herzberg terhadap 200 profesional ketika responden diminta menyebutkan hal-hal apa saja yang membuat mereka bahagia atau kecewa dalam bekerja. Beberapa faktor yang membuat karyawan puas/satisfiers diantaranya achievement, recognition, work it self, responsibility, advancement, dan growth. Sedangkan hal yang membuat kecewa/dissatisfiers, diantaranya gaji, kondisi kerja, policy, supervision, interpersonal relation, status, job security, dan personal life. Susbandono mengingatkan, “Namun begitu, jika dissatisfiers dipenuhi belum tentu menyebabkan timbulnya kepuasan, dan jika satisfiers dipenuhi, belum tentu menghilangkan ketidakpuasan.”
Jadi intinya, masih menurut former VP and HR Medco ini, “Engagement is not habit, dan kita tidak bisa menggantungkan tanggung jawab itu kepada social media saja. Jadi full engagement represents an alignment of maximum job satisfaction, i like my work and do it well, itu saja,” tukas Susbandono. Yang penting lagi, lanjut Susbandono, engagement karyawan juga memacu performance perusahaan. (@nurulmelisa)