( pcs)
GambarBarangjmlBeratTotal
keranjang belanja anda kosong
00,00Rp 0

AMBISI GTN MENGHADIRKAN DATA CENTER KELAS DUNIA

Senin, Oktober 19th 2015.
Ambisi GTN Menghadirkan Data Center Kelas Dunia

Bangunan GTN Data Center yang menempati lahan seluas 15.000 meter persegi di kawasan Lippo Cikarang.

Dari luar, gedung ini tidak menampakkan identitas apa pun. Selain deretan kaca yang menghiasi lobi, gedung dua lantai di kawasan Lippo Cikarang ini juga relatif tertutup tanpa memiliki jendela. Namun itu semua memang disengaja. Ketiadaan marka gedung dan jendela dimaksudkan untuk meningkatkan keamanan sekaligus membantu efisiensi pendinginan.

Kedengarannya memang remeh, namun perhatian terhadap detail memang menjadi ciri gedung milik Graha Teknologi Nusantara ini. Bagi GTN, gedung tersebut harus bisa merepresentasikan mimpi mereka membangun data center kelas dunia.

Kelas Dunia

Graha Teknologi Nusantara (GTN) adalah penyedia layanan data center dengan solusi meliputi rack colocation, caged colocation, serta cloud computing. Selain itu, mereka juga menawarkan layanan tambahan di sisi integration, managed services, IT consulting, dan business continuity plan.

Saat ini, mereka telah mengantongi standar Rate 3 berdasarkan standar Telecommunications Industry Association (TIA). “Namun kami sudah Rate-4 Ready, jadi jika ada customer yang ingin Rate-4, kami bisa sediakan,” tambah Richard Kartawijaya (Presiden Direktur GTN).

Alasan GTN menggunakan standar Rate—dan bukan Tier seperti yang umum digunakan penyedia data center di Indonesia—juga karena mengejar reputasi. “Tier itu datangnya dari Uptime yang merupakan perusahaan komersial,” ungkap Richard. Sementara TIA adalah asosiasi yang telah diakreditasi oleh American National Standards Institute (ANSI) dan terdiri dari empat ratus perusahaan. “Jadi standar mereka lebih kaku,” tambah Richard, sambil menyebut standar Rate ini umum digunakan di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

GTN merupakan proyek patungan antara Multipolar Technology (65%) serta Mitsui (15%) dan Mitsui Knowledge Industry (25%). Menurut Richard, kehadiran perusahaan Jepang di GTN adalah hal penting dalam mendorong tekad GTN menjadi data center kelas dunia.

“Ada tiga orang Jepang di organisasi kami yang tugasnya menularkan culture,” ungkap Richard. Para ahli dari Jepang ini diharapkan juga bisa menularkan proses yang menjadi kelemahan kita selama ini. “Kalau dalam hal pengetahuan, orang kita sebenarnya tidak kalah. Namun ketika bicara disiplin dan proses, kayaknya kita ketinggalan,” tambah pria yang pernah menjadi Country Director Microsoft Indonesia ini.

Richard pun menyebut pemilihan lokasi di Cikarang ini juga setelah mempertimbangkan banyak faktor. “Lokasi data center GTN berada kawasan komersial Lippo Cikarang, agak jauh dari kawasan industri,” ungkap Richard. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari ekses saat terjadi demo buruh. Cikarang juga berjarak 35 km dari Jakarta, yang memenuhi syarat bagi posisi colocation bagi data center yang berada di Jakarta.

Lokasi di kawasan industri Cikarang juga membuat GTN tidak tergantung pada pasokan listrik PLN. “Kami mendapatkan listrik dari Cikarang Listrindo,” ungkap Richard. Cikarang Listrindo ini mengalirkan listrik ke GTN dari dua pembangkitnya yang berada di Jababeka dan MM2100. “Total pasokan mencapai 12 MW,” ungkap Richard lagi.

Karena data center adalah bisnis kepercayaan, GTN mengaku sangat serius dalam menjaga keamanan gedung dan aset di dalamnya. “Kami bekerja sama dengan SECOM untuk membangun sistem keamanan di data center kami,” ungkap pria ramah ini. Untuk masuk ke dalam gedung, pengunjung harus melewati tujuh layer keamanan. Di dalam gedung juga terdapat 99 buah CCTV yang diawasi melalui command center khusus.

GTN Data Center Beroperasi dengan Sertifikasi Rated 3 Pertama di Indonesia

“Kami bangga sekali GTN Data Center sukses meraih sertifikasi bergengsi ini,” jelas Richard Kartawijaya (CEO, Graha Teknologi Nusantara).

Mengejar Efisiensi

Selain menjadi data center kelas dunia, obesesi lain dari GTN adalah menjadi green data center. Hal inilah yang menjelaskan mengapa GTN menggunakan tiga DRUPS (Dynamic Rotary UPS) sekaligus. “Dengan menggunakan DRUPS, kita menghilangkan efek racun dari baterai di UPS,” ungkap Richard.

Cara kerja DRUPS memang menghilangkan kebutuhan akan UPS konvensional. Setelah menerima pasokan listrik dari luar, rotary di dalam DRUPS akan berputar untuk menggerakkan turbin yang menghasilkan listrik. Listrik dari DRUPS inilah yang akan memberi daya ke dalam rak di data center.

Ketika pasokan listrik utama mati, rotary di DRUPS masih akan berputar sekitar sembilan detik. Durasi sembilan detik itu sudah cukup mampu menghidupkan genset untuk beroperasi, guna menjaga pasokan listrik ke dalam data center. “Genset bisa menyala dalam waktu kurang dari satu detik,” ungkap Richard. Dengan begitu, pasokan data center tetap terjaga sehingga server di dalamnya tidak mengalami masalah. Keberadaan tiga DRUPS yang membentuk konfigurasi N+1 juga memungkinkan GTN untuk tidak menggunakan UPS konvensional.

Inisiatif lain yang dilakukan GTN untuk menciptakan data center ramah lingkungan adalah penggunaan cold containment. Pada desain ini, sirkulasi udara dingin dipusatkan pada area seputar rak tanpa harus mendinginkan seluruh ruangan. “Suhu di dalam cold containment ini sekitar 22 derajat, sedangkan di luar 28 derajat,” klaim Richard. Karena ruangan yang harus didinginkan relatif kecil, kebutuhan listriknya pun lebih rendah.

Richard sendiri berkeinginan GTN bisa mencapai PUE (Power Usage Effectiveness, rasio konsumsi total energi data center dengan konsumsi konsumsi hardware, dengan angka ideal adalah 1.0) di bawah 2.0. “Sebenarnya di kawasan tropis seperti Indonesia, PUE di angka 2,3 sudah bagus” ungkap Richard.

Membentuk Ekosistem

Ketika digitalisasi telah menyentuh berbagai sisi kehidupan, kebutuhan akan data center pun akan kian besar. Lembaga riset Technavio memperkirakan, pasar data center di Asia Pasifik akan naik sebesar tujuh belas persen per tahun, jauh lebih tinggi dibanding angka rata-rata global. Di tahun 2020 nanti, nilai pasar data center di Asia Pasifik diperkirakan akan akan menyentuh angka US$20 miliar.

Dengan jumlah pengguna internet yang besar, Indonesia seharusnya bisa menjadi pemain penting di pasar data center ini. Namun Richard memandang, Indonesia saat ini belum memiliki ekosistem yang mendukung untuk menangkap peluang itu.

Karena itulah, GTN bersama enam penyedia cloud lain (yaitu Telkomsigma, DCI, Nextcenter, XL Axiata, dan Elitery) dan Universitas Indonesia sepakat membentuk asosiasi yang disebut IDPRO. Tujuan asosiasi ini adalah mengumpulkan para pelaku di industri data center sehingga terbentuk kekuatan kolektif yang mendorong industri ini di Indonesia.

Salah satu tugas besar IDPRO adalah melakukan standardisasi dari aturan data center di Indonesia. Contohnya adalah perlunya menyatukan lokasi data center Tier 3 ke atas di sebuah kawasan khusus—satu hal yang disyaratkan oleh TIA. Inisiatif lainnya adalah mendorong data center di Indonesia untuk go green dengan mengedepankan faktor ramah lingkungan sebagai syarat utama.

Selain masalah teknis, pengembangan industri data center juga membutuhkan orang yang kompeten. Dalam hal ini, IDPRO akan mendorong pembentukan lembaga khusus yang akan mendidik ahli-ahli data center di Indonesia. Para auditor data center yang ada saat ini diharapkan bisa menularkan ilmunya melalui lembaga ini, sehingga terbentuk generasi baru yang memiliki pemahaman mendalam terkait data center.

Sementara untuk GTN sendiri, gedung dua lantai tersebut barulah permulaan. Dengan konsep desain tumbuh, gedung tersebut bisa ditingkatkan menjadi delapan lantai. Mereka juga berencana membangun satu gedung lagi di sebelahnya ketika permintaan meningkat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan untuk membangun data center di wilayah lain. “Kita punya beberapa alternatif, namun sepertinya akan di luar Jawa,” ujar Richard.

Produk terbaru

Cek resi

Pengiriman