PT DELAPAN SEBELAS INDONESIA (I-811): PENGOLAH BIG DATA ASLI INDONESIA
Semua berawal dari rasa tertantang. Ketika mencari aplikasi untuk mengolah data dari software deep pocket inspection buatannya, Benni Adham menemui jalan buntu. Ia sempat bertemu beberapa penyedia solusi pengolahan big data, namun semua solusi yang ditawarkan tidak memuaskannya. “Saya ingin data [yang akan diolah] itu tidak harus di-prepare, namun langsung dicemplungin saja,” cerita Benni. Namun bukannya mendapat solusi, pemikiran Benni itu justru dianggap “aneh”.
Benni pun tertantang untuk membuat sendiri solusi pengolahan big data seperti yang ia inginkan. Ia habiskan waktu sekitar enam bulan untuk mempelajari map reduce dan ilmu lain seputar big data. Ia kumpulkan rekan-rekannya yang berprofesi sebagai data scientist untuk mendata berbagai permasalahan yang biasa mereka hadapi. Setelah itu, Benni mendesain dan menggarap coding sampai akhirnya lahirlah Paques (dibaca Pakis).
Nama Paques sendiri adalah singkatan dari Parallel Query System. Melalui Paques ini, Benni mendapatkan sistem pengolahan data seperti yang ia impikan, yaitu mengolah data tanpa perlu mempersiapkan data itu terlebih dahulu. “Sama sekali belum ada,” jawab Benni, ketika kami tanya apakah ada solusi di luar sana yang mirip seperti Paques.
Tanpa Persiapan
Kemampuan Benni Adham membuat software inovatif itu memang bukannya tanpa sebab. Pada tahun 2000, ketika masih duduk di bangku kuliah di jurusan computer science UI, ia sudah mendapat pekerjaan di Orange Telecom, Inggris. Di sana, ia membuat media gateway yang mengubah telephony network menjadi VoIP. Setelah itu, ia bekerja di Interoute yang menangani data berbagai perusahaan telekomunikasi di Eropa. Sederet pengalaman inilah yang melatarbelakangi ketertarikan pria ini terhadap big data.
Ketika kembali ke Indonesia, Benni bersama rekan-rekannya mendirikan PT Delapan Sebelas Indonesia (i-811) yang berfokus menggarap big data. Berbekal pengalaman selama ini, Benni mengambil rute berbeda saat mendesain Paques. “Backend kami itu sebenarnya search engine, bukan database,” ujar Benni. Mirip seperti search engine Google, Paques akan menyisir data secara on-the-fly ketika mendapat perintah/query. “Jadi definisinya ditentukan saat itu juga, seperti ini nama manufaktur, ini tahun produksi, dan sebagainya,” jelas Benni.
Karena mendefinisikan data secara on-the-fly, sistem kerja seperti Paques membutuhkan tenaga komputasi yang besar. Namun hal itu diantisipasi dengan membuat algoritma yang membuat semua proses itu dikerjakan oleh semua tenaga komputasi yang tersedia. “Jadi mirip seperti peer-to-peer,” tambah Benni. Tidak mengherankan jika Benni menyebut algoritma Paques pada dasarnya adalah mendistribusikan proses itu secara paralel dan asynchronous (tidak perlu menunggu proses lain selesai sebelum proses selanjutnya dikerjakan).
Konfigurasi berbasis cluster ini juga membuat Paques memiliki scalability yang tinggi. “Kita bisa mulai dari dua server, lalu tambah menjadi empat atau delapan server jika data yang diolah semakin besar,” jelas Benni. Konfigurasi ini juga bersifat master-less cluster karena setiap node bisa berfungsi sebagai master. Dengan kata lain, ketika salah satu server mati, sistem tetap bisa berjalan di server yang aktif.
Benni pun menceritakan kisah di sebuah perusahaan untuk menggambarkan keefektifan Paques. Perusahaan tersebut memiliki data dengan empat format yang berbeda, yaitu database, XML, Excel, dan teks. Biasanya, dibutuhkan waktu 12 – 15 jam untuk mengolah sebelum data itu siap disajikan. “Karena data itu harus dikonversi dulu, kemudian di-cleansing, di-upload ke database, dan sebagainya,” cerita Benni.
Durasi menjadi panjang karena seluruh proses harus dilakukan secara berurutan dan setiap proses melibatkan aktivitas baca-tulis. Ketika menggunakan Paques, perusahaan tersebut bisa mendapatkan data siap saji hanya dalam waktu tiga puluh menit.
Untuk bisa mengolah data itu menjadi dashboard atau BI, data analyst cukup memasukkan query. “Kami mendesain query sendiri yang kami sebut Parallel Query Language,” ujar Benni. Benni mengklaim query tersebut mudah dipelajari, sehingga yang penting adalah data analyst mengetahui dengan persis data seperti apa yang diinginkan. “Karena mereka yang paham data tersebut,” tambah Benni.
Meneruskan Momentum
Saat ini Paques sendiri sudah dipakai oleh beberapa perusahaan besar Indonesia, seperti Telkom dan beberapa institusi negara. Mengingat semua perusahaan kini membutuhkan tool untuk mengolah data yang kian membesar, Benni mengaku optimis akan masa depan Paques.
Akan tetapi, tantangan memang selalu ada. “Brand kami memang kurang dikenal orang,” ujar Benni mengakui. Tantangan lain adalah, Paques adalah solusi berbasis vertikal alias ditujukan ke semua industri. Hal ini berbeda dengan kebiasaan pengembang lokal yang biasanya berbasis horizontal dan langsung bisa digunakan business user. Ketika menyasar sebuah industri tertentu, dibutuhkan sedikit kustomisasi dari GUI yang telah ada.
Hal itulah yang membuat i-811 membuat Pamedi atau Paques Media Intelligent. Pamedi diposisikan sebagai showcase bagaimana big data bisa diimplementasikan di industri media.
Pamedi bekerja dengan cara menganalisis ulasan dari berbagai situs berita terkemuka di Indonesia. Dari data yang diperoleh, Pamedi akan menampilkan dashboard berisi tren berita yang terjadi saat ini, termasuk apakah berita tersebut bersentimen positif maupun negatif. “Ini adalah cara kami menunjukkan Paques bisa dimanfaatkan di industri media,” tambah Benni.
Perusahaan i-811 sendiri saat ini memiliki karyawan 28 orang, dengan empat orang di antaranya adalah programmer yang terus menyempurnakan engine Paques ini. Benni berkeyakinan, i-811 sudah berada di jalur yang tepat dengan fokus di dunia big data. “Karena dunia big data ini adalah sesuatu yang baru, sehingga kami dan perusahaan luar negeri pun sebenarnya sama-sama baru,” ungkapnya.
Benni juga berharap, Paques akan menjadi awal momentum lahirnya berbagai platform teknologi asal Indonesia. “Karena aplikasi horizontal membutuhkan platform seperti ini,” ungkap ayah dari tiga anak ini. Menurutnya, jika perhatian pengembang aplikasi lokal hanya berada di seputar aplikasi horizontal alias berbasis industri, kita akan sulit keluar dari ketergantungan terhadap aplikasi vertikal atau platform bangsa lain.
Untuk mewujudkan hal itu, Benni kini aktif membekali timnya kemampuan mengembangkan semua platform. Ia bahkan telah membuat silabus berdurasi enam bulan berisi teori computer science yang dikombinasikan dengan kenyataan di lapangan. Bahkan ketika ditanya soal mimpi, Benni ingin mencetak sebanyak-banyaknya orang yang bisa menciptakan platform. ”Saya ingin punya excellence center untuk membangun engine untuk platform seperti ini,” tambah Benni.
Benni berkeyakinan, mimpi itu akan terwujud karena banyak orang pintar di Indonesia. Ia pun mencontohkan NLP (Natural Language Processing) Bahasa Indonesia di Paques yang sebenarnya adalah algoritma buatan dosennya dulu. “Tapi apakah kita mau bersusah payah ‘menjahitnya’ untuk menjadi sesuatu yang powerful?” ungkap Benni secara retorik.
Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri. Namun bagi seorang Benni Adham, menjawab tantangan adalah sebuah obsesi tersendiri.