PEMBENTUKAN E-GOVERNMENT JANGAN TERPAKU BADAN CYBER
Pemerintah Indonesia lewat Presiden Joko Widodo sudah mewacanakan segera membentuk e-government. Namun di sisi lain, pembahasan pembentukan Badan Cyber Nasional (BCN) baru akan dilakukan tahun depan kendati tingkat kejahatan Cyber di Indonesia tergolong tinggi.
Tahun 2014, tercatat ada lebih dari 4000 serangan ransomware. Jumlah tersebut juga menempatkan Indonesia peringkat 13 tertinggi angka penipuan di media sosial se-Asia Pasifik dan Jepang.
“Pembentukan Badan Cyber Nasional adalah konsekuensi logis dari perkembangan zaman dan program pemerintahan berbasis teknologi (e-government),” terang Pakar Keamanan Cyber, Pratama Persadha, ditengah talkshow bertema “Badan Cyber Nasional, Penjaga Kedaulatan Cyber di NKRI” bertempat di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sabtu (27/6).
Dinilai Pratama, jalan menuju pembentukan BCN masih amat panjang. Perkembangan belakangan, diketahui prosesnya baru akan masuk kedalam tahap pembahasan di Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
“Paling cepat (pembentukan BCN) tahun 2017. Padahal negara kita sudah masuk dalam kategori darurat cyber. Jangan sampai proteksinya hanya menunggu BCN berdiri,” ketusnya.
Masukannya sementara ini, pemerintah dapat mengordinasikan lembaga atau instansi pemerintahan yang memang menguasai bidang cyber. Pada hakekatnya, penanganan terhadap masalah tertentu tidak hanya berpatokan pada pembentukan badan khusus. Terlebih, jika situasinya mendesak sementara jangka waktu pembentukan badan atau lembaga tersebut masih panjang.
“Bisa saja sementara (penanganan kejahatan Cyber) diintensifkan ke Kemenkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) atau BIN (Badan Intelijen Negara). Tujuan utamanya bukan hanya sekedar menjaga pertahanan dari serangan cyber, tapi juga melindungi masyarakat Indonesia dari kejahatan Cyber,” sambungnya.
Di tempat sama, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Tantowi Yahya mengingatkan, penanganan masalah cyber dijalankan secara sektoral. Hal itu untuk menghindari lahirnya badan baru yang justru memicu pemborosan anggaran.
“Hindari pola kerja badan secara sendiri-sendiri. Kendala terbesar saat ini masih tingginya ego sektoral. Dimana masing-masing pihak mementingkan institusinya,” ujarnya.
Ditanya terkait proteksi informasi di Indonesia, Tantowi sedikit merasa pesimis pemerintah mampu menjalankan. Alasannya, sampai sekarang hampir seluruh infrastruktur dan akses informasi di negara kita masih bergantung pada negara lain.
“Sekarang contoh kecilnya begini, coba kita jujur, email kita semua pakai apa dan asalnya dari mana?. Belum lagi alutsista yang ada juga dari mana?. Bisa jadi kalau kita nanti sampai perang langsung dengan partner Negara Amerika, belum juga sampai medan perang pesawat kita sudah meledak diatas,” kelakarnya.
Sementara, Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun-Gun Heryanto mengatakan, dampak kejahatan cyber saat ini sudah kian meluas. Sebelumnya, ancaman perang antarnegara datang lewat senjata. Tapi kini, perang kerap terjadi di dunia maya.
“Sekarang untuk fasilitas media sosial seperti facebook atau twitter saja tidak hanya untuk berkomunikasi atau perang antara orang satu dan lainnya, tapi sudah tingkat negara ke negara. Lihat juga aksi-aksi penyadapan yang dilakukan terhadap pemimpin sejumlah negara,” singkatnya. (Q-1)