MENKOMINFO HARAPKAN PEMDA BISA PUNYA ANGGARAN MEMADAI UNTUK BIKIN SMART CITY
Dalam mengembangkan smart city atau smart region di daerahnya masing-masing, para pemimpin daerah diminta berkoordinasi dengan lembaga legislatif (DPR dan DPRD) untuk memperoleh anggaran yang cukup memadai. Kalau tidak ada anggaran yang cukup, pemerintah daerah akan sulit untuk bergerak.
Pernyataan itu disampaikan oleh Menkominfo Rudiantara dalam pidatonya di malam penghargaan Indonesia Smart Nation Award (ISNA) 2016 di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (29/11) lalu.
“Kalau kita bicara soal smart city, ada ekosistemnya yang terdiri dari tiga unsur. Pertama, infrastruktur yang berkaitan dengan konektivitas. Kedua, ruang fiskal. Ketiga, proses bisnis atau aplikasi dan layanan,” tukas menteri yang akrab disapa Chief RA itu.
Chief RA menyebut bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika siap mendukung penuh dari unsur pertama, yakni infrastruktur. Caranya dengan membangun akses koneksi internet berkecepatan tinggi ke seluruh penjuru Indonesia. “Sekarang dari 514 kota dan kabupaten, baru 400 yang punya akses broadband dan fiber optic,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Kemenkominfo bakal terus menggarap proyek Palapa Ring yang ditargetkan selesai pada tahun 2019. “Ini (Palapa Ring) akan menjadi legacy (warisan) Kominfo di era Jokowi – JK,” imbuhnya.
Sedangkan untuk unsur kedua, yaitu ruang fiskal, Rudiantara mengimbau badan legislatif DPR untuk memberikan anggaran yang lebih besar kepada pemerintah daerah. Tujuannya agar mereka dapat bergerak lebih leluasa untuk membangun sektor teknologi, khususnya mengembangkan smart city. “Kalau anggarannya saja cuma cukup untuk membayar PNS, bagaimana mau bikin smart city?” selorohnya.
Kebetulan, dalam acara itu, hadir pula perwakilan dari Bappenas dan Komisi XI DPR yang mengurusi bidang Keuangan, Perencanaan Pembangunan, dan Perbankan.
Sementara itu, mengenai unsur terakhir, Rudiantara menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh membuat standardisasi aplikasi dan layanan untuk smart city. Ia menyebut konsep smart city di Indonesia masih dalam tahap awal sehingga setiap pemimpin daerah layak diberi kebebasan untuk mewujudkan kota cerdas sesuai kebutuhan masing-masing.
“Contohnya smart city di Makassar lebih fokus ke layanan kesehatan, Surabaya lebih untuk memantau kinerja layanan publik, dan Bandung pendekatannya beda lagi,” ujarnya. “Makin beragam jenis aplikasi, pemerintah daerah lain tinggal mencontek yang sudah ada sehingga mempercepat waktu pembelajaran,” pungkasnya.
Kendala Smart City
Pada kesempatan yang sama, Diah Indrajati (Dirjen Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri) menyatakan bahwa intervensi TIK dalam bentuk smart city memang diperlukan dalam konteks pembangunan daerah.
Namun, ada beberapa kendala yang menghambat para pemimpin daerah saat ingin mengembangkan kota cerdas itu, yakni: belum ada kesungguhan dan komitmen pemda untuk mewujudkan tata kelola yang cerdas dan transparan; belum adanya kesepahaman terhadap konsep smart city; dan belum ada sumber daya manusia yang memadai.
“Kami menitipkan enam layanan dasar untuk mengawali pengembangan smart city, yaitu terkait dengan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang (PUPR), perumahan dan permukiman, trantib linmas (ketentraman, ketertiban, dan perlindungan masyarakat), dan perlindungan sosial,” tutup Dian.