MENGHINDARI DIRI MENJADI TOXIC LEADER!
Bukti kepemimpinan ditemukan dalam diri pengikutnya (John C Maxwell)
Pembaca, dalam artikel sebelumnya, saya pernah menyinggung soal toxic employee. Saat ini, kita akan membahas soal toxic leader. Untuk memahami secara tuntas, buku saya Smart Emotion volume I dan II terbitan Gramedia Pusta Utama bisa menjadi sumber bacaan utama. Kali ini, saya ingin menyajikan poin pokoknya kepada Anda.
Toxic leader adalah seorang pemimpin ‘beracun.’ Apa artinya? Seorang pemimpin yang membangkitkan aura negatif baik bagi tim maupun organisasinya. John Maxwell dalam buku seri kepemimpinannya mengupas soal gaya kepemimpinan Henri Ford yang terkenal buruk. Meski genius, terkenal, dan dianggap sukses, kepemimpinan Ford dinilai payah. Di bawah kepemimpinannya, banyak terjadi konflik dan kemunduran manajemen. Memang, di awal-awal, organisasinya untung, tapi belakangan akhirnya kerugiannya begitu besar dan tingkat kepercayaan Henri pun rendah. Bahkan kepada anaknya sendiri. Itulah contoh kepemimpinan yang tergolong toxic.
Ada tujuh ciri utama yang bisa dilekatkan pada seorang toxic leader ini.
Pertama, gaya manajemennya dikenal dengan “Totem Pole Management.” Artinya, gaya manajemen menginjak-injak. Mirip seperti patung totem ala Indian yang bertumpuk membentuk tiang panjang. Yang paling menderita adalah mereka yang ada di posisi paling bawah. Mereka sering diabaikan, disalahkan, dihina, dan disepelekan. Toxic leader menginjak-injak bawahannya dan menjilat atasannya.
Kedua, menciptakan atmosfer kerja yang tidak kondusif. Relasi antarkaryawan dibuat menjadi saling curiga dan konflik. Tingkat kepercayaan individu rendah. Konflik sering diciptakan agar ada kompetisi dan saling sikut di antara bawahannya. Biasanya, toxic leader memancing di air keruh dan menampilkan dirinya seolah-olah dialah sang pahlawan.
Ketiga, senang dengan loyalitas buta (blind loyalty). Ia senang dengan karyawan yang tidak banyak mempertanyakan kebijakannya. Ia tidak senang dengan sikap kritis. Tak segan-segan memuji dan mempromosikan karyawan yang taat buta. Pertanyaan dan sikap kritis dari karyawan dianggap sebagai bentuk perlawanan dan permusuhan. Orang macam ini senang dikelilingi manusia-manusia “yes man.” Manusia-manusia penganut paham asal bapak senang. Kondisi ini menciptakan suasana kerja jauh dari otentik dan penuh kepalsuan.
Keempat, gemar menggunakan emotional blakmail, yakni sangat ahli menciptakan perasaan F-O-G (Fear, Obligation, dan Guilty) pada karyawannya. Pemimpin macam ini membuat karyawan bekerja lantaran takut, dibebani kewajiban, dan sering merasa bersalah jika tugas tidak dikerjakan seperti yang ia inginkan. Bahkan, rasa salah berkepanjangan sengaja diciptakan. Ia mudah mengancam seperti dengan menunda kenaikan. Kadang, ia melakukan hal baik agar jasanya dikenang. Ia ingin membangun monumen kesuksesannya. Sebuah monumen yang dibangun dengan menciptakan rasa takut, kepatuhan buta, dan rasa bersalah di lingkungan kerja.
Kelima, meski awalnya kinerja tim tampak baik, tapi ujungnya tetaplah hasil buruk. Toxic leader senang mengejar kuantitas dan tak peduli kualitasnya menurun drastis. Sayangnya, tak jarang, pihak manajemen justru memuji kinerja mereka karena hasil luar biasa dalam waktu singkat. Manajemen tidak tahu kalau itu dicapai dengan banyak korban dan tekanan psikologis di antara karyawan. Manajemen sering dikelabui.
Keenam, suka menciptakan suasana penuh kabut, tidak jelas, dan kurang transparan. Mereka gemar memakai pernyataan ambigu untuk menghindari tanggung jawab. Ambiguitas menjadi senjata untuk mengamankan diri jika otoritas lebih tinggi darinya menuntut pertanggungjawaban. Dalam ambiguitas ini, anak buah justru sering dijadikan kambing hitam. Dengan cepat mereka suka menganulir keputusannya jika terjadi hal yang tidak ia inginkan.
Ketujuh, menghalalkan segala cara jika kepepet. Yang penting, tujuannya tercapai. Selama tidak ada masalah, mereka akan ikuti kerangka acuan. Tapi, bila ambisinya terhalangi, ia akan mudah melibas semua aturan dan mengabaikan etika untuk meraih apa yang diinginkannya.
Sebenarnya, ada beberapa hal bagus yang dimiliki oleh para toxic leader, yakni mempunyai ambisi dan need achievement yang baik. Sayangnya, cara mereka sampai ke atas dan cara mereka mempertahankan kepemimpinannya sering keliru. Bahkan, meninggalkan luka terutama bagi anak buah. Akibatnya, tim menjadi menderita. Dalam jangka panjang, toxic leader justru menabung hal negatif pada anak buahnya. Saat toxic leader kehilangan kekuasaannya, mereka akan segera dicibir dan dikenang keburukkannya. Kalau dicermati, kepemimpinan toxic leader tidaklah selalu buruk hasilnya. Bahkan, hasil dari tim para toxic leader ini terkadang bisa sangat memuaskan. Namun, ya itu, hasilnya bagus untuk waktu yang singkat saja. Untuk jangka panjang, sebenarnya, organisasi dan moralitas tim dirusak.
Nah, apakah Anda tergolong seorang toxic leader? Tidak ada kata terlambat untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Manusia adalah mahkluk refleksif yang mampu mengadakan pembaruan diri. Selamat menjadi pemimpin yang lebih positif!
Akhirnya, bagi pembaca yang menanyakan informasi program kami selanjutnya. Workshop “Aplikasi Kecerdasan Emosional di Tempat Kerja” akan diadakan di Palembang tanggal 20-21 April 2007. Informasi lebih lanjut hubungi Palembang School of Life (0711) 816995.