MEMIMPIN DENGAN HATI
Hai pembaca, apa kabar? Mau dengar kisah-kisah nyata dalam dunia kerja ? Yuk, ikuti cerita – cerita dibawah ini…….Tentang apa yang paling banyak dikeluhkan karyawan termasuk para Manajer SDM …. Eh, ternyata sikap para pucuk pimpinan, loh !
3 Kisah Korban Kepemimpinan
Kisah yang saya ceritakan ini, bukan yang terjadi di perusahaan yang saya dampingi sebagai praktisi /Konsultan SDM, melainkan dari mereka yang ada di sekeliling saya. Bahkan juga dari mereka yang sebelumnya belum saya kenal, kemudian menjadi kenal. Lho kok ? Karena mereka mengetahui nomor telepon saya dari redaksi harian dimana saya mengasuh sebuah rubrik ketenagakerjaan. Nah, diantara kisah-kisah yang diceritakan kepada saya, beberapa diantaranya adalah yang akan saya bahas di sini.
Kisah pertama, yaitu tentang seorang Manajer SDM (perempuan) dari luar Jogja yang menyatakan keinginannya untuk berkonsultasi dengan saya. Dengan cuma-cuma loh, sebagai salah satu bentuk pengabdian masyarakat yang selama ini memang sudah saya lakukan.
Akhirnya setelah berhasil menemui saya ia bercerita disertai dengan isak tangis. Padahal penampilannya terkesan berkepribadian kuat, tegas, enerjik dan ceria. Ia merasa putus asa dengan kehadiran Direktur yang baru. Ia merasa pendapatnya tak pernah didengar. Pak Diru ini (Direktur baru….hehehe…) lebih mementingkan pekerjaan administrasi ketimbang urusan SDM. Lebih suka melakukan komunikasi melalui tulisan (surat, BBM/ SMS, pengumuman) ketimbang berbicara secara langsung. Kalau memimpin rapat, seluruh staf merasa tak ada gunanya, karena gaya kepemimpinannya yang top down. Apa yang menurutnya benar itulah titah sang raja! Menurut dia, Pak Diru ini belum sadar bahwa ia sudah berada di abad 21. Sebagai pensiunan PNS abad 20 yang ditunjuk owner memimpin perusahaan swasta dengan 100 orang karyawan, ia tak mampu mengubah cara pandangnya. Sebagai pejabat instansi pemerintah ia biasa memperlakukan bawahan selalu patuh mengikuti semua perintah atasan! Yang membuat Manajer SDM itu sampai menangis yaitu perasaan malunya karena sempat didamprat Pak Diru di depan forum. Padahal terbukti kemudian, bahwa ia memang tidak bersalah.
Pak Diru juga memasang pada papan pengumuman tentang keputusan skorsing beberapa staf tanpa meminta pendapatnya. Dipasangnya pengumuman itu tanpa tanda tangan Manajer SDM. Inilah yang menjadi alasan mengapa ia bertekad untuk segera mengundurkan diri. Saya memberinya saran agar ia menyikapi permasalahan ini dengan hati tenang dan kepala dingin. Tidak mngambil keputusan dalam situasi masih emosional, misalnya dengan melakukan “upaya pendekatan” terlebih dahulu kepada atasannya. Berbicara dari hati ke hati untuk menciptakan suasana kerja yang lebih kondusif. Akan tetapi yang saya dengar kemudian ternyata ia tetap mengundurkan diri dan pindah ke perusahaan lain.
Beberapa bulan kemudian saya menerima BBM : “ Duh Ibu, saya benar-benar menyesal karena tidak mendengarkan saran Ibu. Di perusahaan baru ini, tidak based on management sama sekali. Orang yang direkrut bareng dengan saya dan statusnya GM (atasan saya), 2 hari lalu di cut tanpa alasan yang jelas. Masya Allah……Saya masih bingung … Terima kasih atas bantuan Ibu selama ini“.
Jika semua yang diceritakan itu sesuai kenyataan, maka inilah yang sering dikatakan orang: “Lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya….!”
Kisah Kedua, tentang apa yang dialami mantan anak didik saya. Setelah sekian lama tak bertemu, ia, yang sekarang berprofesi sebagai manajer SDM sempat mengobrol dengan saya sewaktu kami bertemu di mal. Diceritakannya, bahwa ia pernah bekerja baru sehari langsung mengundurkan diri. Mengapa ? Bukan karena ia harus berkantor satu ruangan dengan isteri Pak Direktur, tetapi yang menjadi masalahnya adalah, ia mendapat tugas di luar job descnya sebagai Manajer SDM, yaitu adanya tugas ekstra menjemput anak-anak Direktur tersebut sewaktu mereka pulang sekolah. Tralalalaa……Ia pun langsung hengkang.
Pembaca pasti heran setengah tidak percaya, bukan ? Bagaimana hal ini bisa terjadi di sebuah perusahaan yang cukup besar dengan sekitar 200 orang karyawan? Inilah varia dunia kerja. Aneh tapi nyata ! Tapi saya memang sering menjumpai, masih banyak pimpinan yang tidak bisa membedakan antara tugas dinas dan kepentingan pribadi, tercampur aduk. Iya, kan ? Masih banyak yang tidak mengerti apa itu job description. Atau bagaimana atasan perlu menghargai bawahannya.
Kisah ketiga….. inilah yang benar-benar membuat kepala saya pusing tujuh keliling ! Betapa tidak! Seorang teman yang seprofesi dengan saya, suatu hari meminta pendapat saya. Ia bekerja di sebuah perusahaan dengan 300 orang karyawan yang dipimpin 2 orang kakak beradik. Sang adik meminta dia untuk memotivasi Pak GM agar bertahan dan tidak mengundurkan diri. Sang kakak justru sebaliknya. Dia diminta mendorong Pak GM supaya mengundurkan diri! Benar-benar dibutuhkan hikmat Salomo, bukan ? Bersyukur karena saya pernah mendapat BBM dari anak saya: “Bunda, saya baru pulang dari Gereja. Saya juga mendoakan Bunda selain untuk kebahagiaan (ini sangat penting) tetapi juga kiranya Tuhan memberikan hikmat Salomo, karena Bunda melakukan konseling dan menangani masalah banyak orang.”… Deg! Baru sadar saya, bahwa untuk mampu membantu pemecahan masalah diperlukan kedamaian hati dan hikmat Salomo agar benar-benar bijaksana dan berhasil mencapai tujuan.
Masalahnya, seperti yang diceritakannya kepada saya adalah : di perusahaan yang ia dampingi, ada seorang Kepala Departemen yang berhasil melakukan pembobolan. Pak GM dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab mengapa hal itu bisa terjadi. Meskipun perkara itu sendiri sudah diserahkan kepada pihak Kepolisian. Ia sangat bingung kepada siapa ia harus berpihak, siapa yang harus dia ikuti? Menurut dia struktur organisasi dan manajemen yang berjalan sudah tidak sesuai alur kerja. Juga adanya konflik dan konspirasi, benar-benar merupakan masalah yang menguras pikiran dan perasaannya.
Hal ini terjadi akibat ketidakkompakan pucuk pimpinan. Sang kakak sering memberi perintah kepada tim manajemen atau sekretaris tanpa sepengetahuan GM. Tragisnya GM diisukan tidak disiplin karena tidak hadir dalam rapat. Setelah dia berikan gambaran tentang fakta yang terjadi di lapangan, saya memberinya saran, agar ia menelusuri masalah yang ada dengan terlebih dahulu mengadakan pendekatan kesemua pihak. Tetap bersikap objektif. Kemudian bicara dari hati ke hati menyampaikan semua penemuan yang di perolehnya kepada kedua pucuk pimpinan itu. Saya bersyukur karena teman saya tersebut mengikuti saran yang telah saya berikan. Teman saya tersebut akhirnya berhasil meyakinkan sang kakak yang bisa mengerti dan mengakui kesalahannya. Pak GM pun akhirnya tetap bisa dipertahankan. Wah, mendengar ceritanya itu, saya ikut senang bukan main. Hati tenang dan hikmat Salomo memang diperlukan !
Pemimpin Ideal
Kita semua tahu, betapa banyaknya teori kepemimpinan. Ada banyak pakar seperti Stephen R Covey, John C. Maxwell, Hans Finzel, James K. van Fleet ,dll yang begitu lengkap dan gamblang mengajarkan bagaimana kepemimpinan yang sukses. Namun sebagai praktisi, saya memilih yang paling sederhana, yaitu pendapat J. Goulet yang meringkas semua teori menjadi 2 huruf yaitu M & M atau 2 kata yaitu Mentor & Model. Sebagai mentor, pemimpin perlu memiliki kelebihan dari yang dipimpin. Sebagai Model pemimpin harus menjadi teladan. Pada 2 kata itu telah tercakup semua perannya.
Bagaimanakah secara sederhana pemimpin ideal itu? Pemimpin ideal yaitu pemimpin yang DIHORMATI-DIHARGAI-DICINTAI.
Dihormati = memiliki kelebihan dari yang dipimpin, bijaksana, berwibawa, punya kharisma.
Dihargai = menghargai bawahan serta menghormati hak-haknya, mengenal mereka secara baik, memberi penghargaan atas prestasinya selain memberi teguran.
Dicintai = bersikap kebapakan/keibuan, memberi bimbingan, tidak mencari kambing hitam, mencari jalan keluar (solusi secara bijak), dan memberi sentuhan-sentuhan kecil!
Pemimpin ideal tahap tertinggi yaitu dicintai anak buah diwujudkan dalam bentuk kepemimpinan dengan EQ. Sifat kebapakan/ keibuan mencakup sikap adil, tidak membeda-bedakan, ada unsur melayani. Mau mendengar pendapat pihak lain, mampu berempati, menyemangati, memberi pujian, suka menyapa, misalnya dengan menepuk bahunya atau memberi ucapan selamat pada momen-momen penting/ berharga, memberi kesempatan anak buah menyampaikan feed back, dan bersedia minta maaf bila ternyata bersalah.
Jelaslah betapa pentingnya peran EQ atau kecerdasan emosi dalam pelayanan maupun kepemimpinan !
Beberapa hari sebelum saya menyelesaikan artikel ini, teman saya, yang pernah menjadi wakil saya, sewaktu saya masih menjadi kepala SMA, telah berpulang. Mantan anak buah bahkan para alumni yang telah tersebar dan banyak yang sukses datang melayat. Bahkan sebelumnya ketika masih sakit, dari Jakarta bahkan luar pulau ada yang menyempatkan datang menjenguk. Saya sempat dimintai tolong untuk menyerahkan titipan sampul tanda kasih berisi uang yang tidak sedikit jumlahnya. Almarhum meski sosok pekerja keras, terkenal sangat tegas dan dislipin, menjatuhkan hukuman sebagai sanksi, tetapi semua dilakukannya dengan adil dan bijak. Dengan kata-kata yang menyentuh dan mampu menyadarkan yang bersalah. Memberi perhatian bagi anak buah maupun anak didik yang membutuhkan pertolongan.
Sewaktu saya masih menjabat Advisor LippoBank, menjadi Konsultan SDM di Larissa Aesthetic Center dan Kolumnis di majalah rohani Bahana, saya juga sempat mengalami peristiwa dengan suasana yang mengharukan. Pemimpin yang mengundurkan diri atau dipromosikan ke daerah lain ditangisi oleh seluruh staf dan anak buahnya. Karena si pemimpin telah berhasil menjadi pemimpin yang dicintai !
Nah Pembaca, bagaimana dengan Anda? Siap menjadi pemimpin ideal? Yuk kita berusaha menjadi pemimpin yang dihormati, dihargai dan dicintai. Menjadi pemimpin dengan EQ yang memimpin dengan hati….
Magdalena Sukartono. Praktisi, konsultan SDM, Trainer, Kolumnis Tetap Rubrik Ketenagakerjaan Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Pengelola Lembaga Pengembangan SDM Abisatya Paramitra. Lahir di Mayong, Jepara 5 Oktober 1938 dan telah memberikan lebih dari 2.000 kelas di berbagai wilayah di Indonesia.