KIAT MANAJEMEN: BEGINI DAMPAK BAIK BURUK POPULARITAS
Putri yang cantik dan dicintai masyarakat dunia ini meninggal secara tragis pada 31 Agustus 1997. Diana, Princess of Wales, meninggal akibat cedera berkepanjangan setelah mengalami kecelakaan mobil di Pont de l’Alma, suatu terowongan jalan di Paris, Prancis. Pacarnya, Dodi Fayed dan pengemudi Mercedes W140, Henri Paul meninggal seketika.
Konon, tabrakan itu terjadi akibat dari ulah paparazzi yang terus menguntit mereka kemana-mana termasuk dalam perjalanan dengan mobil. Pengemudi, karena fokus yang terbelah, tidak mampu mengendalikan kemudi dan terjadilah kecelakaan. Tak dapat dipungkiri, jika kemudian ada tudingan aneka rupa di sekitar tewasnya Lady Di ini.
Paparazzi sangat paham, bahwa popularitas Lady Di sangat bernilai. Popularitas Lady Di adalah suatu produk yang amat mahal bagi pasar gosip dunia.
Popularitas adalah tingkat keterkenalan, kemasyhuran dan ketenaran seseorang atau suatu kelompok orang di mata publik. Ada sebagian orang yang senang memiliki popularitas. Mulai dari yang sekadar menikmatinya, seperti Henry A. Kissinger, menteri luar negeri Amerika Serikat yang termasuk salah satu selebriti pada masa itu.
Ia mengakui, “Hal yang enak menjadi selebriti adalah apabila Anda bosan dengan orang-orang, mereka justru berpikir bahwa hal itu adalah karena kesalahan mereka.” Sementara komentar agak memelas karena menyentuh soal ras, Chris Rock mengakui, “Saya senang menjadi terkenal. Itu mirip menjadi kulit putih.”
Chris adalah seorang aktor dan komedian kulit hitam, yang salah satu filmnya, bersama Jackie Chan, Rush Hour, meledak di pasar film dunia. Rod Stewart, rocker, yang kini sudah berusia 70 tahun, mengakui adanya hal positif soal popularitas, “Ada suatu kekuatan yang datang bersamaan pada saat menjadi terkenal.”
Popularitas bagi beberapa profesi antara lain para politikus adalah hal utama. Bisa kita lihat, dalam kehidupan sehari-hari, betapa para artis populer, yang tak pernah kita lihat kompetensi dan rekam-jejaknya dalam bidang sosial politik, kemudian secara mudah terpilih menjadi anggota DPR. Dari sananya, para artis memang sudah memiliki bekal dasar untuk menjadi politikus yakni bekal popularitas.
Lebih dari sekadar menikmati kesenangan akan popularitas, beberapa orang bahkan membanggakan hingga menyombongkannya. “Orang membenci saya gara-gara saya sangat berbakat, kaya, dan saya terkenal di dunia,” ujar Jerry Lewis, komedian dan aktor film-film slapstick yang kini berusia 88 tahun.
“Saya dapat melakukan apapun sesuka saya. Saya kaya, terkenal dan lebih besar dibandingkan dengan Anda,” kata Don Johnson. Don adalah seorang aktor film yang melambung namanya berkat Miami Vice, suatu film seri televisi bergenre action.
“Ketika saya masuk agama Islam, mereka memberi saya nama yang amat terkenal, Muhammad, nama nabi Islam, karena saya juara,” ujar Muhammad Ali, juara dunia tinju kelas berat dunia, yang dikenang sebagai petinju terhebat sepanjang masa. Ali memang juga terkenal karena ‘mulut besarnya’.
“The Beatles jauh lebih terkenal di dunia dari pada nama Yesus,” ujar John Lennon, yang ditembak mati pada 1980 dalam usia 40 tahun. Ia ditembak oleh Mark David Chapman, seorang penggemar beratnya atas alasan yang tak terungkap dengan jelas.
Konsekuensi Terkenal
Padahal, dalam konsep spiritual, bagi orang-orang yang ikhlas, menjadi terkenal adalah suatu hal yang layak dikhawatirkan. Dengan menjadi terkenal, pelbagai konsekuensi harus diantisipasi. Ikhlas, sebagai salah satu gejala orang-orang menjunjung tinggi kebesaran dan kekuasaan-Nya adalah sikap dasar yang layak dijunjung tinggi.
Berbuat segala kebaikan, dalam konsep ikhlas, tidaklah ditujukan untuk meraih popularitas, melainkan semata-mata karena Nya. “ Cintailah yang di bumi agar dicintai yang di langit “, adalah suatu pepatah Tiongkok kuno yang menggambarkan secara sangat sederhana konsep dasar spiritualitas tersebut.
Ada pula orang-orang yang berjuang keras dalam kehidupannya, tanpa tujuan untuk menjadi terkenal di satu sisi, melainkan untuk suatu tujuan lain yang manusiawi, bukan tujuan dalam konsep spiritualitas.
Ray Charles, seorang penyanyi dan musisi kulit hitam tunanetra, yang diakui sebagai musisi jenius, menuturkan tujuannya, “Saya tak ingin menjadi populer. Saya hanya ingin menjadi hebat.” Sementara itu, “Saya ingin sukses, bukan terkenal,” kata George Harrison, gitaris The Beatles. Sedikit bernada seloroh, “Saya lebih nyaman untuk menikmati wajah saya di kaca kamar mandi dari pada kaya dan terkenal,” kata Ani DiFranco, musisi dan penulis lagu.
Di seberang lain, beberapa selebriti mengemukakan pelbagai sisi negatif dampak popularitas, “Bagi saya untuk menjadi nyaman dengan popularitas itu hampir tak mungkin. Kehilangan anonimitas, kehilangan privasi. Anda memberikan sebagian hidup Anda dan tak bisa mengendalikannya,” kata Michelle Pfeiffer, artis pemenang Golden Globe, yang salah satu filmnya bersama Robert De Niro menjadi legenda hidup, Scarface.
“Hal terburuk menjadi terkenal adalah invasi terhadap privasi Anda,” keluh Justin Timberlake, penyanyi yang kemudian terjun ke dunia film. “Saya pikir bila Anda terkenal, segenap kelemahan Anda akan sangat dilebih-lebihkan,” kata Marilyn Monroe, artis dan simbol seks pada masanya.
Al Pacino, aktor watak yang dikenang sebagai aktor besar dalam film The Godfather, mengeluhkan tiadanya kejujuran dan keterbukaan seputar popularitas yang diperolehnya, “Hal yang paling sulit menjadi terkenal adalah bahwa setiap orang bersikap baik kepada Anda. Dalam berbincang-bincang, setiap orang setuju saja dengan pandangan Anda, bahkan bila yang Anda katakan itu jelas-jelas gila. Anda membutuhkan orang yang yang dapat mengatakan kepada Anda sesuatu yang Anda tak ingin dengarkan.”
Menyikapi pro dan kontra popularitas Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16 menyarankan, “Hindari popularitas jika Anda ingin memiliki kedamaian.” Atau, kita simak pengakuan Wynonna Judd, seorang penyanyi dan musisi musik country, “Kisah sukses dan kegagalan saya bukan sekadar soal musik dan popularitas. Itu adalah soal kehidupan dan cinta plus usaha untuk menemukan makna hidup dalam dunia yang gila ini.”
Atau pengakuan dalam nafas spiritual serupa, yang menyejukkan dari Oscar Wilde, penyair Irlandia abad 19 ini, “Perasaan paling nyaman di dunia adalah saat melakukan sesuatu kebaikan, secara anonim, dan melihat orang lain menikmati kebaikan itu.”
Penulis:
Pongki Pamungkas
Penulis buku The Answer Is Love.