INTELIJEN 2.0 ERA JOKOWI (OPINI REPUBLIKA)
Ancaman perang cyber antarnegara ke depan memang semakin besar. Wikileaks dalam bocoran terakhir mengatakan bahwa pemerintah dan perusahaan Jepang menjadi target penyadapan oleh AS. Penyadapan dilakukan sejak Shinzo Abe terpilih sebagai perdana menteri.
Tak hanya Jepang, dua negara Eropa, yaitu Jerman dan Prancis juga mengalami hal serupa. Masih bocoran dari Wikileaks, data penyadapan tersebut disebar oleh AS ke sekutunya, antara lain, Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Inggris. Kenyataan ini mengingatkan kita pada gonjang-ganjing hubungan Australia dan Indonesia terkait penyadapan terhadap lingkungan istana di masa Presiden SBY.
Pascamunculnya kabar penyadapan, Jepang belum melakukan tindakan apa pun. Berbeda dengan Prancis yang langsung menunjukkan sikap keras dan tegas terhadap peristiwa ini. Lebih keras lagi Pemerintah Jerman mewajibkan para pejabat birokrasinya memakai smartphone dengan tambahan perangkat lunak berkeamanan tingkat tinggi untuk menghindari kemungkinan disadap.
Fakta ini jelas cukup membuat kita di Tanah Air berpikir keras. Sutiyoso bertindak cukup cepat, pascadilantik sebagai kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Dia langsung mengonfirmasi bahwa perhatian utama BIN ke depan adalah masalah keamanan cyber.
Langkah ini tepat karena BIN sebagai lembaga intelijen negara yang melakukan deteksi dini dan peringatan dini terhadap segala bentuk dan sifat ancaman dari luar dan dalam negeri. Kini ancaman itu banyak datang dari dan lewat dunia cyber.
Pernyataan serupa dikemukakan oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Menurutnya, ancaman saat ini 70 persen terkait energi fosil yang banyak berada di Timur Tengah. Namun ke depannya, ancaman akan banyak terkait ketahanan pangan yang akan cukup meramaikan wilayah sekitar ekuator, termasuk Indonesia. Menurutnya, ancaman tersebut akan banyak datang dari dan lewat dunia cyber.
Fakta-fakta di atas seharusnya cukup membuat pemerintah waspada bahwa ke depan dunia cyber Indonesia akan menghadapi tantangan yang berat. Jangan sampai pemerintah mempunyai ketergantungan teknologi informasi yang tinggi pada asing. Termasuk terkait e-government, seharusnya pemerintah cenderung membangun potensi dalam negeri ketimbang harus bekerja sama dengan Singapura.
Jika menilik Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011, tujuan intelijen negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan intelijen dalam rangka memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta peluang yang ada bagi kepentingan dan keamanan nasional.
Artinya, intelijen negara harus menguasai jalur informasi tersebut. Dengan semakin majunya teknologi, manusia dihadapkan dengan ketergantungan yang tinggi pada teknologi untuk berkomunikasi maupun menyimpan informasi. Kondisi inilah yang wajib bisa diadaptasi oleh aparat intelijen negara.
Namun, urusan intelijen sebenarnya bukan hanya milik BIN semata. Menurut Pasal 9 UU Nomor 17 Tahun 2011, penyelenggara intelijen negara meliputi BIN, intelijen TNI, intelijen Polri, intelijen kejaksaan, dan intelijen kementrian maupun lembaga pemerintah nonkementerian.
Penguasaan medan intelijen di dunia digital memang berbeda dengan intelijen tradisional yang banyak bergantung pada individu. Misalnya soal wilayah, walau dalam UU telah disebutkan intelijen negara menyelenggarakan fungsinya di dalam dan luar negeri, dalam konteks wilayah digital hal itu menjadi sesuatu yang abu-abu.
Wilayah ini adalah tantangan tersendiri bagi dunia intelijen saat ini. Kita tak bisa memastikan benar-benar apakah seorang pelaku kejahatan atau mata-mata sedang melakukan kejahatan di Indonesia atau di luar negeri saat mencuri data negara, misalnya.
Kuartal kedua tahun 2013 Indonesia ditahbiskan sebagai negara asal serangan cyber terbesar di dunia. Hal itu tidak sepenuhnya benar. Karena dalam dunia cyber, para hacker atau peretas ini enggan diketahui lokasi asli mereka sehingga memilih menggunakan proxy untuk menyamarkan keberadaan sebenarnya.
Kelemahan pertahanan cyber Indonesia itulah yang dimanfaatkan dengan “baik” oleh mereka sehingga yang tercatat serangan cyber berasal dari Indonesia. Tentunya tak ada maling yang ingin diketahui di mana tempat tinggal mereka.
Kelemahan pertahanan cyber Indonesia diperparah dengan mudahnya warga asing masuk ke Indonesia. Beberapa waktu lalu polisi menangkap banyak warga asing asal Cina yang melakukan kejahatan pemerasan. Mereka melakukan kejahatan dengan target warga Cina. Namun, aksi pemerasan dan pencurian kartu kredit dilakukan di Indonesia. Ini membuktikan bahwa Indonesia masih menjadi surga yang nyaman untuk melakukan tindak kejahatan.
Kerentanan pertahanan cyber Indonesia memang membutuhkan intelijen negara yang kuat. Karena intelijen negara merupakan lini pertama dalam sistem keamanan negara. Intelijen negara inilah yang “membunyikan” alarm tanda bahaya bagi negara. Dan ancaman terbesar sekarang datangnya dari dunia digital.
Integrasi intelijen
Keinginan Bang Yos untuk membawa BIN masuk lebih dalam ke dunia cyber, misalnya, patut diapresiasi. Namun, selanjutnya apa yang harus dilakukan oleh BIN maupun lembaga intelijen lainnya?
Pertama, yang harus dilakukan adalah mengenali medan. Namun, masalahnya belum ada badan maupun lembaga negara resmi yang bertanggung jawab terhadap wilayah cyber di Indonesia. Jelas Kemenkominfo bukan pelaksana dan penjaga wilayah cyber. Adalah Badan Cyber Nasional (BCN) yang bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap wilayah cyber Indonesia ini.
BIN dan lembaga intelijen lainnya berkoordinasi dengan BCN untuk mengintegrasikan sistem dan kerja sama ke depan. Agar informasi dan sistem yang ada bisa dimaksimalkan untuk menangkis serangan cyber maupun upaya penyadapan yang dilakukan oleh pihak luar dan dalam dengan tujuan mengganggu stabilitas NKRI.
Koordinasi dengan BCN ini menjadi hal yang wajib dilakukan nantinya karena kanal utama dalam saluran informasi-komunikasi saat ini maupun ke depannya banyak melalui telepon dan internet. Karena itu, intelijen negara mempunyai tugas berat untuk mengamankan informasi yang sifatnya rahasia, sekaligus menghimpun data informasi penting yang berserakan di luar sana.
Pekerjaan intelijen bertambah berat karena e-government nyatanya dikerjakan “bersama” Singapura. Hal ini membuka peluang bocornya informasi yang seharusnya tidak dibuka ke pihak asing. Dalam hal ini, pekerjaan berat menanti aparat intelijen negara yang diharapkan bisa menutup lubang informasi negara bersama BCN.
Ke depan, baiknya pemerintah bersama aparat intelijen negara perlu membangun sistem yang mampu menutup celah masuknya penyadapan maupun pencurian informasi. Yang paling mudah dilakukan adalah membangun industri informasi-telekomunikasi di dalam negeri dan dibangun oleh murni anak bangsa.
Hal ini bisa menjamin dan memperkecil ketergantungan pada teknologi dan infrastruktur asing. Pada akhirnya, kerja intelijen bisa terus efektif karena ruang lingkup pengawasan bisa lebih “dipersempit”.
Kiprah intelijen negara di era “Intelijen 2.0” ini perlu didukung pemerintah dengan kebijakan yang pro dalam negeri, misalkan menggunakan produk dalam negeri. Perlahan akan muncul ekosistem yang saling membutuhkan dari industri pertahanan, telekomunikasi, dan informasi dengan negara yang membutuhkan kepastian, kenyamanan, dan keamanan dalam bernegara.
Sejatinya, tantangan Intelijen 2.0 ini tidak hanya akan membuka paradigma dan SDM baru, tetapi juga membuka kesempatan industri pertahanan, komunikasi, dan informasi dalam negeri untuk terus berinovasi. Kuncinya adalah koordinasi intelijen negara bersama BCN dan kemauan pemerintah mengurangi ketergantungan teknologi pertahanan, komunikasi, dan informasi dari asing.
Pratama Persadha
Pegiat Keamanan Cyber dan Kriptografi, Chairman Communication and Information System Security Research Center (Cissrec)