GERRI MARTIN-FLICKINGER: ANDALKAN TEKNOLOGI UNTUK MERACIK STARBUCKS YANG LEBIH PERSONAL
Matahari masih muncul malu-malu ketika dua orang pria bergegas memasuki sebuah gerai Starbucks di pojokan jalan 4th dan Market Street, San Fransisco, Amerika Serikat. Namun belum sempat masuk, langkah keduanya terhenti setelah mendapati di dalam gerai sudah ada antrean panjang orang yang ingin memesan kopi. Setelah berdiskusi sejenak, keduanya batal masuk gerai Starbucks tersebut dan melanjutkan langkahnya ke tempat tujuan.
Minum kopi memang menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat AS. Data dari Universitas Harvard menunjukkan, sebanyak 54% penduduk AS yang berusia di atas delapan belas tahun meminum kopi setiap hari, dengan rata-rata menghabiskan 3,1 cangkir kopi per hari. Starbucks sebagai pemilik jaringan gerai terbesar di AS dan dunia, tentu saja menjadi pemain penting di industri kopi yang bernilai miliaran dolar tersebut.
Akan tetapi, cerita di atas menggambarkan tantangan yang harus dihadapi Starbucks saat ini. Dengan variasi hidangan kopi yang bisa mencapai 67 varian, barista membutuhkan waktu melayani setiap konsumen. Antrean panjang pun sering terbentuk yang berpotensi menurunkan minat calon pembeli untuk membeli kopi.
Tantangan inilah yang mendorong Starbucks menunjuk Gerri Martin-Flickinger sebagai CTO sejak September 2015 kemarin, menggantikan Curt Ganner yang telah menjadi CTO selama delapan belas tahun.
Pengalaman Panjang
Curt Ganner sendiri sudah meninggalkan warisan penting untuk Starbucks, yaitu menjadikan Starbucks sebagai waralaba gerai kopi yang sangat melek teknologi. Teknologi tidak cuma diimplementasikan di sisi fasilitas—seperti Wi-Fi atau wireless charging—namun juga layanan. Starbucks memiliki mobile apps yang memungkinkan pelanggan membayar langsung di aplikasi tersebut. Starbucks kabarnya memproses tujuh juta transaksi per minggu yang menggunakan aplikasi mobile-nya.
Aplikasi mobile tersebut juga membuat pelanggan tertarik menjadi anggota program loyalty and reward. Keefektifan program ini bisa dilihat dari data yang menyebutkan anggota program tersebut melakukan pembelian tiga kali lipat dibandingkan nonanggota.
Keunggulan inilah yang ingin dipertahankan Starbucks. “Seiring usaha Starbucks mengembangkan layanan berbasis teknologi, kami membutuhkan pemimpin TI yang memiliki pengalaman panjang di bidang cloud, big data analytics, mobile, dan security,” ungkap Kevin Johnson (President Starbucks) saat menjelaskan penunjukan Gerri. “Gerri menjadi pilihan yang sangat tepat berkat pengalaman panjangnya di Silicon Valley dan kemampuan teknis maupun manajemennya,” tambah Kevin.
Dalam hal pengalaman, Gerri memang sudah sangat teruji. Kariernya sebagai CIO merentang dari Chevron, McAfee, sampai VeriSign. Posisi terakhir Gerri sebelum bergabung ke Starbucks adalah sebagai CTO Adobe. Gerri adalah sosok penting yang melakukan transformasi besar-besaran Adobe dari penjualan software secara retail menjadi layanan berbasis cloud.
“Sebelum transformasi ini, distribusi Adobe fokus pada penjualan multi-kanal seperti toko retail biasa,” ungkap Gerri menceritakan pengalamannya di Adobe. Namun ketika Adobe menjadi perusahaan SaaS, pola distribusi seperti itu sudah tidak relevan. Pola langganan membuat hubungan antara Adobe dan konsumen menjadi lebih intensif karena kebutuhan konsumen hari ini akan berbeda dengan kemarin.
Hal ini pun mengubah cara Adobe membuat produk. Jika sebelumnya pembaruan software menunggu siklus waktu delapan belas bulan, kini pembaruan bisa dilakukan kapan saja. “Dari kacamata CIO, perubahan itu sangat menantang dan melibatkan seluruh lini di sebuah perusahaan sebesar Adobe,” tambah Gerri.
Lebih Personal
Kini sebagai CTO Starbucks, tantangan terbesar Gerri adalah bagaimana memastikan pelanggan memiliki pengalaman yang menyenangkan.
Gerri sendiri sudah memiliki visi apa yang akan ia lakukan di Starbucks. Salah satunya adalah personalisasi layanan saat pelanggan memasuki gerai Starbucks di manapun. “Dengan 90 juta transaksi per minggu, kami mengetahui apa yang dibeli pelanggan, di mana mereka membeli, dan bagaimana mereka membayar pesanan mereka,” ungkap Gerri.
Ketika ditelusuri lebih dalam, data tersebut juga menunjukkan ada banyak pelanggan setia Starbucks yang rutin membeli menu yang sama pada waktu yang mirip setiap harinya. “Jadi seharusnya barista bisa langsung menyapa nama pelanggan sambil memproses pesanannya begitu pelanggan tersebut menginjakkan kakinya di gerai Starbucks manapun,” tambah Gerri. Dalam bayangan Gerri, sentuhan personal itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi proximity yang akan mendeteksi smartphone pengguna ketika mendekati gerai Starbucks.
Sebagian dari visi itu sudah diwujudkan melalui fitur Mobile Pay and Order yang dirilis di AS dan Inggris. Melalui fasilitas ini, pengguna bisa memesan dan membayar kopi melalui Starbucks Apps. Setelah itu, pelanggan tinggal mengambil pesanannya di gerai Starbucks tanpa harus mengantre lagi.
Starbucks kini juga sudah melakukan kerja sama dengan Microsoft untuk mengintegrasikan layanan Starbucks di Outlook. Ketika Anda ingin bertemu klien di salah satu gerai Starbucks, Anda tinggal memanfaatkan calender invitation termasuk lokasi gerai Starbucks langsung di Outlook. Tidak cuma itu, Anda pun bisa langsung memesan kopi dan membayarnya langsung dari menu di dalam Outlook tersebut. Artinya begitu Anda masuk ke gerai tersebut, kopi Anda sudah tersedia
Personalisasi yang lebih dalam juga bisa dilakukan ketika Starbucks bisa menggabungkan data pelanggan dengan data eksternal. “Jika data internal Starbucks bisa dikombinasikan dengan data lain, seperti promosi, perkiraan cuaca, atau event yang sedang terjadi di sebuah tempat, kami dapat memberikan pelayanan yang lebih memuaskan pelanggan,” tambah Gerri.
Teknologi juga akan menjadi senjata utama Starbucks untuk menjaga kualitas makanan dan minuman yang disajikan. Caranya dengan mengontrol mesin kopi dan oven di setiap gerai Starbucks melalui jaringan internet. Ketika ada jenis kopi atau makanan baru, pembaruan setting langsung dikirim ke mesin di setiap gerai. Dengan begitu, makanan dan minuman yang tersaji akan konsisten di setiap gerai dan barista tidak perlu menghadapi proses pembelajaran.
Gerri dan Starbucks tidak main-main dalam mewujudkan visinya tersebut. Gerri menyebut ia akan segera merekrut seratus profesional TI ke dalam timnya, mulai dari level manajer sampai programmer. Karyawan baru itu akan menambah jumlah orang TI di Starbucks yang kini mencapai lebih dari seribu orang. Boleh dibilang, Starbucks memiliki lebih banyak orang TI dibanding perusahaan TI.
Semua itu dalam rangka memastikan pelanggan Starbucks tidak pindah ke lain hati. “Nantinya, Anda akan melihat Starbucks yang memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan hubungan personal ke pelanggan,” ungkap Gerri.