CLOUD DI MATA INDUSTRI KEUANGAN: MENANTI KEPASTIAN REGULASI DAN KESIAPAN INFRASTRUKTUR FITUR ENTERPRISE
adirnya layanan cloud dalam berbagai bentuk sejatinya bisa membuat proses operasional sebuah perusahaan menjadi lebih mudah. Bukan cuma urusan operasional, melainkan juga bisa meningkatkan efisiensi dari berbagai aspek, termasuk juga biaya.
Dalam diskusi InfoKomputer CIO Power Breakfast yang didukung oleh IBM Indonesia, Kamis (12/5), yang mengangkat tema “Pandangan Industri FSI Terkait Cloud”, para pelaku industri perbankan dan finansial dihadapkan pada aturan yang mengharuskan mereka untuk meletakkan pusat data (data center) di Indonesia. Peraturan ini sudah diresmikan pada tahun 2012 lalu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Secara umum, penyedia layanan data center di Indonesia saat ini sudah memiliki kesiapan apabila industri perbankan dan finansial ingin beralih ke cloud dan meletakkan data center mereka di lokasi-lokasi penyedia layanan tersebut.
Mariam F Barata (Direktur Pemberdayaan Informatika, Ditjen Aplikasi Informatika, Kemkominfo) mengatakan bahwa Kominfo telah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan sejumlah instansi terkait lainnya mengenai ketentuan penempatan data center di Indonesia.
Pihak DCI (Data Center Indonesia) mengatakan bahwa secara umum seluruh data center di Indonesia sudah siap, hanya masih memiliki ganjalan di sisi sumber energi yang selama ini hanya memiliki satu sumber saja, yaitu pasokan listrik dari PLN. Padahal, industri perbankan dan finansial umumnya mensyaratkan data center masuk kategori tier 4 yang mengharuskan adanya minimal dua sumber daya.
Selain itu, masih ada beberapa hal lain yang membuat pelaku industri perbankan dan finansial perlu berpikir secara matang untuk beralih ke cloud.
Supriyanto (CIO, BTPN) mengatakan bahwa sebenarnya perbankan sangat tertarik dengan teknologi cloud. Apalagi di zaman sekarang, dengan bermunculannya berbagai perusahaan financial technology (fintech) yang secara tidak langsung menjadi pesaing bank. Munculnya perusahaan-perusahaan fintech membuat bank harus meningkatkan kompetitivitas, termasuk dengan mengadopsi cloud.
Lebih lanjut Supriyanto mengatakan, infrastruktur cloud bukan cuma data center. Jadi walaupun dibilang data center di Indonesia sudah siap, selama infrastruktur lain seperti konektivitas jaringan belum mendukung, adopsi cloud akan menjadi terhambat.
Selain itu, Supriyanto juga menyoroti soal biaya layanan cloud di Indonesia yang cenderung masih kalah kompetitif jika dibandingkan dengan layanan cloud di negara tetangga seperti Singapura yang mampu menawarkan reliabilitas lebih tinggi.
Dari sisi teknologi, Benny Abrar (Country Manager, Storage Solution, IBM Indonesia) menyatakan bahwa IBM sebenarnya sudah cukup lama memiliki komitmen di cloud. IBM memiliki sejumlah solusi cloud untuk mengakomodasi kebutuhan cloud untuk industri perbankan dan finansial. Pihak IBM Indonesia juga saat ini telah secara aktif berusaha mengarahkan konsumen untuk mulai mengimplementasi cloud.
Benny mencontohkan, untuk korporasi-korporasi besar, IBM akan membantu untuk mengimplementasikan private cloud yang telah sesuai dengan standar cloud yaitu OpenStack. Jadi jika suatu saat regulator membuka izin korporasi untuk beralih ke penyedia layanan cloud pihak ketiga, infrastruktur yang ada sudah siap untuk dimigrasikan secara mudah.
Soal regulasi implementasi cloud yang akan aktif pada bulan Oktober 2017 nanti, para pelaku industri perbankan dan finansial berharap regulator seperti Kominfo dan OJK bisa memberikan informasi yang lebih jelas mengenai peraturan tersebut.
Dan juga, untuk memudahkan para korporasi, diharapkan Kominfo juga bisa memberikan rekomendasi mengenai penyedia layanan cloud dan data center yang telah memenuhi standar sesuai dengan persyaratan yang diberikan.
Menurut Yulianto (Presiden Direktur, PT Aristi Jasadata, anak perusahaan dari PT Anabatic Technologies Tbk), penyediaan solusi layanan cloud harus mencakup tidak hanya data center namun juga solusi menyeluruh. Solusi cloud itu mulai infrastuktur dasar yaitu IAAS (Infrastructure As A Service), naik ke level berikutnya adalah PAAS (Platform As A Service, yaitu IAAS ditambahkan sistem operasi), database dasar, sampai ke level aplikasi yang disebut SAAS (Software As A Service). Anabatic sendiri sebagai penyedia layanan cloud menyediakan layanan sampai level SAAS sehingga pelanggan dapat menikmati turn key solution.
Yulianto juga menganggap cloud memungkinkan pemerataan solusi sistem enterprise sehingga FSI yang mempunyai kemampuan terbatas dapat menikmati sistem yang sebelumnya hanya bisa dibeli oleh FSI besar. Hal ini dimungkinkan karena penyedia cloud memberikan layanan yang terpadu. Biaya yang tinggi biasanya muncul akibat layanan yang spesifik antara satu pelanggan dengan pelanggan lain.