BRUCE HANADI: PAKAR STRATEGI UNTUK EFISIENSI TI
Selama enam belas tahun berkarier di bidang TI, Bruce Hanadi pernah mengecap pengalaman di beragam sektor industri, dari telekomunikasi, edukasi, security, sampai media. Sepanjang itu pula, ia terbiasa bekerja di dalam kondisi anggaran TI yang ketat. Oleh karena itu, suasana baru ia hadapi ketika bergabung dengan PT Sampoerna Strategic pada tahun 2013.
Pertama, Sampoerna Strategic merupakan holding company yang menaungi lima business unit multiindustri (agribisnis, perkayuan, keuangan, properti, dan telekomunikasi) ditambah satu nonprofit organization di bidang pendidikan. Kedua, perusahaan yang dipimpin Michael Sampoerna ini memfasilitasi Bruce dengan infrastruktur TI yang sudah mapan serta anggaran TI yang cukup longgar.
Mengapa hal tersebut malah menjadi tantangan tersendiri bagi Bruce? Melimpahnya fasilitas ini ternyata membuat business unit berlaku sesuka hati dalam menggunakan server dan bandwidh milik holding. Ditambah lagi kurangnya staf TI di holding untuk mengawasi aktivitas business unit. Walhasil, operasional TI menjadi tidak efisien, tidak transparan, dan berakibat pada membengkaknya pengeluaran.
“Dari awal saya masuk, tantangannya adalah bagaimana menjalankan TI di perusahaan ini dengan lebih efisien. Selain itu, bagaimana saya harus bisa melayani [kebutuhan TI] keluarga [Sampoerna] yang tinggal di gedung ini juga supaya tetap reliable,” ujar Bruce saat ditemui di kantornya di Gedung Sampoerna Strategic Square, Jakarta.
Rangkaian proses efisiensi dimulai langsung sejak Bruce masuk. Saat itu, e-mail server perusahaan sudah memasuki masa end-of-life. Dengan pertimbangan modal yang dibutuhkan terlalu besar untuk membeli e-mail server baru, Bruce memutuskan untuk mencari alternatif yang lebih hemat. Diputuskanlah untuk menggunakan solusi cloud-based e-mail dari Microsoft. Begitu juga dengan komunikasi internal yang awalnya berbasis PABX konvensional menjadi unified messaging via internet.
Bruce menyebutkan bahwa Sampoerna Strategic memiliki jaringan internet yang sangat memadai dengan bandwidth total 126 Mbps, rasio 1:1, dan MetroWAN 100 Mbps. Bekal ini semakin memuluskan jalan untuk migrasi menuju cloud.
Langkah efisiensi selanjutnya adalah dengan menerapkan kebijakan data center milik holding sebagai IaaS (Infrastructure-as-a-Service) bagi business unit dan mengenakan biaya charge back untuk setiap penggunaan.
Sebelumnya, penggunaan server dari pusat oleh business unit tidak diperhitungkan sebagai biaya. Implikasinya, ada beberapa unit yang profitnya tidak terlalu besar, tapi bisa mengklaim sudah mencapai target pemasukan dengan profit margin yang besar. Padahal, sebenarnya masih ada hidden cost di dalamnya, yaitu penggunaan infrastruktur TI.
“Bayangkan, sebelum saya masuk, kami punya 247 virtual server untuk lima business unit. Itu jumlah yang luar biasa banyak. Sejak saya terapkan kebijakan charge back, mereka mulai berhati-hati. Kami bisa mengurangi penggunaan server sampai 120 buah atau sekitar 50%. Berarti kan penghematan juga,” ungkap Bruce.
“Untuk holding, biaya ini bukan dianggap pemasukan. Tapi, setidaknya business unit menjadi lebih prudent. Apa yang seharusnya dihitung, ya dihitung. Tidak ada lagi hidden cost. Biaya yang dulu intangible, sekarang jadi tangible,” lanjut ayah dari satu anak itu.
Manfaat lainnya yang dirasakan perusahaan dari program efisiensi ala Bruce adalah peningkatan SLA (Service Level Agreement) untuk infrastruktur e-mail dan komunikasi dari 98% menjadi 99,9%. Selain itu, terjadi perubahan pengeluaran dari capex ke opex (dan biaya lisensi).
“Dalam proyeksi pengeluaran untuk sepuluh tahun ke depan, ada potensi penghematan sedikitnya 51% daripada menggunakan solusi on-premise,” tukas Bruce.
Meyakini Cloud
Langkah efisiensi Bruce tidak terhenti sampai di sini. Dalam satu tahun ke depan, ia berencana untuk menyempurnakan migrasi ke cloud untuk e-mail server dan platform komunikasi di seluruh business unit.
Selanjutnya, ia ingin membangun Disaster Recovery Center (DRC) yang juga berbasis cloud. Cukup membayar US$30 – 40 ribu per bulan, perusahaan sudah bisa memiliki cloud DRC. Jauh lebih masuk akal daripada membuat DRC fisik yang bisa memakan ongkos sampai US$3 juta.
“Bagi saya, cloud benar-benar terasa membantu. Saya cukup percaya dengan cloud karena sifatnya yang sharing resource; menghemat sekali dan bisa membuat saya tidur tenang,” tuturnya sambil tersenyum.
Bruce berhasil meyakinkan manajemen Sampoerna Strategic untuk mendukung rencananya pindah ke cloud. Dari segi cost, security, dan legal, cloud jauh lebih menguntungkan. Apalagi setelah mereka merasakan manfaat nyata dari cloud. “Pernah kami mengalami masalah teknis yang mengakibatkan jaringan dan e-mail mati. Tapi, manajemen yang e-mail-nya sudah di cloud tidak terpengaruh,” kata pemegang gelar Master di bidang Information System dari Western International University, AS.
Dari sisi end-user juga tidak ada komplain dengan pemindahan backend ke cloud. Bruce menceritakan satu pengalaman menarik tentang ini. “Kami punya kantor kecil di Singapura, isinya tujuh karyawan dengan empat server untuk printer, e-mail, file, dan backup. Server ini sering bermasalah dan biaya servisnya mahal sekali,” ujarnya. Lalu, Bruce memindahkan e-mail para karyawan ke cloud. Mereka pun diminta mencoba storage di cloud. Ternyata mereka menikmatinya karena bisa sinkronisasi dokumen di kantor, rumah, dan ponsel.
“Pelan-pelan, file server saya pindahkan ke cloud. Akhirnya, saya matikan e-mail dan file server. Otomatis, backup server tidak dibutuhkan. Sedangkan untuk kebutuhan printing, saya belikan perangkat jaringan untuk printer sharing. Empat server akhirnya mati semua. Mereka happy karena bisa memangkas biaya maintenance dan juga tidak butuh lagi menyewa server room ke kantor sebelah,” paparnya.
Keahlian Strategis
Kesuksesan Bruce dalam menapaki jenjang karier hingga berada di posisi Head of ICT bersumber dari kemauan pehobi Lego ini untuk belajar ilmu-ilmu baru di luar TI.
Asalnya Bruce masih menangani langsung hal-hal teknis saat menjadi database dan server admin. Tapi, ia sadar bahwa agar bisa maju, ia harus mampu berpikir strategis.
“Kalau mau menjadi orang TI, jangan hanya bisa bicara tentang TI. Karena saat di kantor, Anda harus bisa bicara dengan bahasa orang finance dan HR. Saat berbicara mengenai budget, Anda harus menempatkan diri di posisi orang yang punya uang di kantor itu. Anda harus paham soal cost dan RoI (Return on Investment). Ilmu itu akan membantu karier Anda,” Bruce berpesan.
Bruce menyebut dirinya sebagai spesialis strategic information system yang bertanggungjawab memaksimalkan penggunaan IT di perusahaan.
Ia mengakui, ilmu strategi memang tidak banyak terpakai di awal karier. Tetapi, ketika ia sudah menduduki posisi middle management, keahlian semacam inilah yang membuatnya lebih cepat naik jabatan daripada mereka yang hanya berbekal skill terlampau teknis.