AS HARGAI DUA HACKER RUSIA INI RP40,3 MILIAR
Saat ini Biro Investigasi Federal AS (FBI) sedang memburu dua hacker asal Rusia yaitu Evginey Mikhailovich Bogachev dan Aleksey Alekseyevich Belan yang telah mencuri jutaan informasi finansial milik warga AS dan mengeruk jutaan dolar dari aksinya tersebut.
FBI pun akan memberikan hadiah senilai USD3 juta atau sekitar Rp40,3 miliar bagi siapa saja yang bisa memberikan informasi keberadaan Bogachev. Hal ini merupakan hadiah terbesar yang pernah FBI tawarkan untuk menangkap seorang hacker.
Beredar informasi, kedua hacker itu berada di Rusia yang tidak mempunyai perjanjian ekstradisi dengan AS.
Bogachev pernah membuat malware GameOver Zeus yang menginfeksi lebih dari sejuta komputer dan menyebabkan kerugian finansial lebih dari USD 100 juta. Malware itu bertugas mencuri berbagai informasi finansial seperti nomor rekening, password, PIN dan lainnya.
Berbeda dengan Bogachev, FBI memberikan hadiah USD100 ribu atau sekitar Rp1,3 miliar kepada orang yang memberikan informasi terkait keberadaan Belan. Belan telah meretas e-commerce besar di AS dan mencuri data-data konsumennya.
“Melihat apa yang dilakukan orang Amerika terhadap orang lain, hal yang dilakukan Bogachev (terhadap AS) sudah sepantasnya,” kata seorang sopir taksi di Rusia bernama Vazgen Atanasov seperti dikutip Daily Mail.
Menurut penasihat dan mantan penasihat keamanan siber Gedung Putih, AS terlalu banyak memikirkan strategi ofensif dalam perang siber daripada mempersiapkan pertahanan siber dari serangan yang jauh lebih sederhana.
Padahal, Rusia menggunakan strategi perang siber yang sama di negara lain seperti peretasan terkoordinasi dan penyebaran kabar hoax contohnya di Ukraina. Aksi Rusia itu juga sudah berhasil terdeteksi oleh sejumlah agensi intelijen AS.
Ada satu hal yang menghambat upaya penanggulangan penyebaran kabar hoax yaitu pemerintah AS merasa dibatasi oleh kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi.
“Kamu harus mempunyai pengawasan yang sangat masif dan kebebasan yang terbatas. Mereka (Rusia) bisa mengontrol distribusi informasi dengan cara yang tak bisa kami lakukan,” ujar mantan pejabat yang tak disebut namanya seperti dilansir Reuters.